Sementara banyak ilmuwan sibuk memikirkan solusi hemat energi listrik, ternyata Indonesia juga menjumpai fakta bahwa banyak kawasan di negeri ini yang belum terjangkau layanan listrik.
Dr Taufik, profesor Indonesia yang berkarya di AS adalah salah satu yang tertarik untuk memecahkan masalah tersebut. Bukan dengan menemukan sumber energi baru, tetapi dengan membuat sistem baru dengan sumber energi dan teknologi yang telah ada.
"Kalau saya lebih tertarik dengan teknologi yang cepat bisa dikembangkan ya. Kalau harus menunggu puluhan tahun, itu terlalu lama. Lebih bagus yang mudah, sederhana dan cepat diaplikasikan," katanya di sela-sela International Summit Ikatan Ilmuwan Internasional Indonesia (I-4) di Jakarta, Kamis (16/12/2010).
Jadilah ia merencanakan program DC House yang akan dilaksanakan mulai bulan Januari nanti bersama para mahasiswanya. Prinsipnya, rumah tersebut menggunakan arus listrik DC, bukan AC seperti yang biasa digunakan.
"Arus DC ini memiliki kelebihan karena efisiensinya lebih tinggi. Kalau dalam arus AC, banyak energi yang terbuang selama ditransfer," ungkapnya. Dengan arus tersebut, efisiensi bisa ditingkatnya dari 5 hingga 10 persen yang berujung pada lebih hematnya listrik.
Penggunaan arus DC ini menurutnya bisa lebih fleksibel. Sumber energi bisa berasal dari mana saja, seperti hidropower, panel surya maupun angin, sesuai dengan potensi masing-masing daerah meski dikatakan bahwa panel surya adalah yang paling optimal.
"Bahkan yang paling hebat, kita bisa mentransfer energi dari manusia untuk listrik. Misalnya, orang yang bersepeda bisa mentransfer energinya di baterai, sehingga tersimpan dan bisa digunakan," ujar pria yang telah mengajar di AS selama 11 tahun.
Energi listrik yang dihasilkan dari tiap sumber akan ditransfer ke rumah lewat kabel. Sebelum sampai ke rumah, listrik yang dihasilkan akan melewati sebuah converter yang berperan untuk menstabilkan voltage yang awalnya naik turun sesuai dengan kemampuan sumber listrik memproduksi energi.
"Nah, di situlah keahlian saya," ujar Taufik yang memang menekuni bidang elektronika, terutama converter DC. Ia telah merancang converter DC yang digunakan untuk tank ABRAM milik AS dan pesawat F-37 serta baru saja meraih hak paten untuk converter buatannya.
Ketika energi listrik sampai di rumah, masih ada hal yang perlu diatasi. Pada sistem AC, setiap alat akan membutuhkan tegangan yang sama. Namun, pada sistem DC, tegangan yang dibutuhkan berbeda-beda sehingga harus ada penyesuaian.
"Kita akan mengembangkan juga stop kontak yang dilengkapi dengan sensor. Dengan itu, maka sistem listrik ini akan menyesuaikan kebutuhan setiap alat," ucap Taufik menguraikan solusi dari kendala pengembangan sistem DC ini.
Pada tahap awal, Taufik akan mengembangkannya dalam skala kecil. "Kita ujicobakan dulu pada satu rumah, menggunakan sumber energi yang sesuai. Nantinya kalau sudah berjalan akan dikembangkan dengan skala lebih besar," ujar Taufik.
Sebagai contoh, Taufik menjelaskan bahwa nantinya bisa dikembangkan semacam bus center, semacam tempat untuk mengumpulkan energi dalam komunitas tertentu, memungkinkan setiap orang untuk berbagi sumber energi ketika satu merasa kekurangan.
Muaranya adalah pada revolusi energi listrik. Sumber energi yang tadinya AC menjadi menggunakan DC. Kemudian, masyarakat yang terutama berada di daerah yang tak terjangkau listrik bisa mengupayakan listriknya dan berbagi untuk memenuhi kebutuhannya.
Untuk mewujudkannya, menurut Taufik tidaklah sulit. "Kita tidak mengembangkan teknologi baru tapi memanfaatkan yang sudah ada. Lampu DC, kulkas DC sekarang juga sudah ada. Jadi ini bisa cepat diaplikasikan," paparnya.
Taufik adalah seorang profesor di Department Electrical Engineering California Polytechnic State University di Amerika Serikat atau yang lebih sering disebut Calpoly. Ia menekuni bidang elektronika, terutama soal converter DC.
Ia adalah seorang pria berasal dari wilayah Tanjung Priuk, Jakarta. Sejak kecil, ia menghadapi keterbatasan listrik. "Dulu masih pakai lampu minyak tanah. Listrik pakai dari aki. Kalau akinya habis kita lagi nonton TV, layarnya jadi mengecil, harus lihat lebih dekat," ungkapnya sambil tertawa mengenang pengalamannya.
Lulus dari Cleveland, Ohio, saat ini, ia juga membantu beberapa perguruan tinggi untuk mendapatkan akreditasi ABET, sebuah akreditasi bergengsi dari Amerika dalam bidang pendidikan teknik.
Proyek DC House-nya yang akan dimulai Januari nanti akan mengambil Indonesia sebagai pilot project-nya. Esok, ia akan mempresentasikan idenya dalam pertemuan International Summit 2010 Ikatan Ilmuwan Indonesia Internasional dalam kluster elektronika.
Dr Taufik, profesor Indonesia yang berkarya di AS adalah salah satu yang tertarik untuk memecahkan masalah tersebut. Bukan dengan menemukan sumber energi baru, tetapi dengan membuat sistem baru dengan sumber energi dan teknologi yang telah ada.
"Kalau saya lebih tertarik dengan teknologi yang cepat bisa dikembangkan ya. Kalau harus menunggu puluhan tahun, itu terlalu lama. Lebih bagus yang mudah, sederhana dan cepat diaplikasikan," katanya di sela-sela International Summit Ikatan Ilmuwan Internasional Indonesia (I-4) di Jakarta, Kamis (16/12/2010).
Jadilah ia merencanakan program DC House yang akan dilaksanakan mulai bulan Januari nanti bersama para mahasiswanya. Prinsipnya, rumah tersebut menggunakan arus listrik DC, bukan AC seperti yang biasa digunakan.
"Arus DC ini memiliki kelebihan karena efisiensinya lebih tinggi. Kalau dalam arus AC, banyak energi yang terbuang selama ditransfer," ungkapnya. Dengan arus tersebut, efisiensi bisa ditingkatnya dari 5 hingga 10 persen yang berujung pada lebih hematnya listrik.
Penggunaan arus DC ini menurutnya bisa lebih fleksibel. Sumber energi bisa berasal dari mana saja, seperti hidropower, panel surya maupun angin, sesuai dengan potensi masing-masing daerah meski dikatakan bahwa panel surya adalah yang paling optimal.
"Bahkan yang paling hebat, kita bisa mentransfer energi dari manusia untuk listrik. Misalnya, orang yang bersepeda bisa mentransfer energinya di baterai, sehingga tersimpan dan bisa digunakan," ujar pria yang telah mengajar di AS selama 11 tahun.
Energi listrik yang dihasilkan dari tiap sumber akan ditransfer ke rumah lewat kabel. Sebelum sampai ke rumah, listrik yang dihasilkan akan melewati sebuah converter yang berperan untuk menstabilkan voltage yang awalnya naik turun sesuai dengan kemampuan sumber listrik memproduksi energi.
"Nah, di situlah keahlian saya," ujar Taufik yang memang menekuni bidang elektronika, terutama converter DC. Ia telah merancang converter DC yang digunakan untuk tank ABRAM milik AS dan pesawat F-37 serta baru saja meraih hak paten untuk converter buatannya.
Ketika energi listrik sampai di rumah, masih ada hal yang perlu diatasi. Pada sistem AC, setiap alat akan membutuhkan tegangan yang sama. Namun, pada sistem DC, tegangan yang dibutuhkan berbeda-beda sehingga harus ada penyesuaian.
"Kita akan mengembangkan juga stop kontak yang dilengkapi dengan sensor. Dengan itu, maka sistem listrik ini akan menyesuaikan kebutuhan setiap alat," ucap Taufik menguraikan solusi dari kendala pengembangan sistem DC ini.
Pada tahap awal, Taufik akan mengembangkannya dalam skala kecil. "Kita ujicobakan dulu pada satu rumah, menggunakan sumber energi yang sesuai. Nantinya kalau sudah berjalan akan dikembangkan dengan skala lebih besar," ujar Taufik.
Sebagai contoh, Taufik menjelaskan bahwa nantinya bisa dikembangkan semacam bus center, semacam tempat untuk mengumpulkan energi dalam komunitas tertentu, memungkinkan setiap orang untuk berbagi sumber energi ketika satu merasa kekurangan.
Muaranya adalah pada revolusi energi listrik. Sumber energi yang tadinya AC menjadi menggunakan DC. Kemudian, masyarakat yang terutama berada di daerah yang tak terjangkau listrik bisa mengupayakan listriknya dan berbagi untuk memenuhi kebutuhannya.
Untuk mewujudkannya, menurut Taufik tidaklah sulit. "Kita tidak mengembangkan teknologi baru tapi memanfaatkan yang sudah ada. Lampu DC, kulkas DC sekarang juga sudah ada. Jadi ini bisa cepat diaplikasikan," paparnya.
Taufik adalah seorang profesor di Department Electrical Engineering California Polytechnic State University di Amerika Serikat atau yang lebih sering disebut Calpoly. Ia menekuni bidang elektronika, terutama soal converter DC.
Ia adalah seorang pria berasal dari wilayah Tanjung Priuk, Jakarta. Sejak kecil, ia menghadapi keterbatasan listrik. "Dulu masih pakai lampu minyak tanah. Listrik pakai dari aki. Kalau akinya habis kita lagi nonton TV, layarnya jadi mengecil, harus lihat lebih dekat," ungkapnya sambil tertawa mengenang pengalamannya.
Lulus dari Cleveland, Ohio, saat ini, ia juga membantu beberapa perguruan tinggi untuk mendapatkan akreditasi ABET, sebuah akreditasi bergengsi dari Amerika dalam bidang pendidikan teknik.
Proyek DC House-nya yang akan dimulai Januari nanti akan mengambil Indonesia sebagai pilot project-nya. Esok, ia akan mempresentasikan idenya dalam pertemuan International Summit 2010 Ikatan Ilmuwan Indonesia Internasional dalam kluster elektronika.
0 komentar
Posting Komentar