Ahlul Kitab (ilustrasi).
Ahl Al-Kitab artinya
orang yang mempunyai kitab. Sebutan bagi komunitas yang memercayai dan
berpegang kepada agama yang memiliki kitab suci yang berasal dari Tuhan
selain Alquran.
Pembicaraan tentang Ahlul Kitab dalam kajian fikih antara lain mengenai cakupan pengertiannya, hukum menikahinya, dan hukum memakan sembelihannya.
Berdasarkan petunjuk Alquran, ulama tafsir dan fikih sepakat menyatakan komunitas Yahudi dan Nasrani adalah Ahlul Kitab, sedangkan komunitas lainnya diperselisihkan.
Dengan kata lain, setiap Alquran menyebut istilah Ahlul Kitab dengan berbagai istilahnya, maka yang dimaksud adalah Yahudi dan Nasrani baik secara bersama-sama mapun secara terpisah. Alquran menyebut kaum Yahudi dan Nasrani dengan panggilan Ahlul Kitab untuk membedakan mereka dari kaum penyembah berhala.
Mengenai hukum memakan binatang sembilihan Ahlul Kitab terdapat perselisihan pendapat di antara ulama fikih. Jumhur mufassir dan fukaha seperti Ibnu Abbas dan beberapa tokoh kalangan tabi'in seperti Ata bin Abi Rabah, Muhammadi bin Syihad Az-Zuhri, Amir bin Syurahil Asy-Sya'bi, dan Makhul bin Abu Muslim berpendapat, umat Islam boleh (halal) secara mutlak memakan sembelihan Ahlul Kitab.
Sementara itu, terdapat juga sahabat seperti Aisyah binti Abu Bakar, Ali bin Abi Thalib, Ibnu Umar (putra Umar bin Khathab), dan Tawus bin Al-Kaisan Al-Yamani, membolehkan memakan sembelihan Ahlul Kitab dengan ketentuan Ahlul Kitab yang dimaksud ketika menyembelih hewan menyebut nama Allah SWT. Jika ketika menyembelih hewan itu tidak disebut nama Allah SWT, maka haram memakan binatang sembelihan tersebut.
Menikahi perempuan Ahlul Kitab. Sebagian besar sahabat Rasulullah, ahli tafsir, dan ulama fikih sepakat tentang kebolehan lelaki Muslim menikahi perempuan Ahlul Kitab, dalam hal ini Yahudi dan Nasrani.
Pendapat mereka ini berdasarkan pada:
1. Firman Allah SWT dalam surat Al-Ma'idah ayat 5 yang secara tegas menghalalkan pernikahan antara laki-laki Muslim dan perempuan Ahlul Kitab.
2. Firman Allah SWT dalam surat Al-Baqarah ayat 221 yang menetapkan keharaman menikahi perempuan musyrik (musyrikah), sementara firman Allah SWT dalam surat Al-Maidah ayat 5 ditentukan menikahi perempuan Ahlul Kitab.
Hal ini menunjukkan adanya perbedaan antara status musyrikah dan Ahlul Kitab dan masing-masing mempunyai ketentuan sendiri, yakni haram mengawini perempuan musyrikah dan halal menikahi perempuan Ahlul Kitab.
Kendatipun jumhur ulama tafsir dan fikih membolehkan perkawinan antara laki-laki Muslim dan perempuan Ahlul Kitab, ulama mazhab Hanafi, Syafi'i, dan sebagian ulama mazhab Maliki, memandang makruh laki-laki Muslim mengawini perempuan Ahlul Kitab yang berada di bawah lindungan pemerintahan Islam.
Berbeda dengan pandangan di atas, Ibnu Umar tidak sependapat dengan para sahabat dan ulama yang membolehkan seorang Muslim mengawini perempuan Ahlul Kitab. Ia berpendapat bahwa Ahlul Kitab adalah bagian dari orang-orang musyrik. "Saya tidak tahu lagi adakah syirik yang lebih besar dari ungkapan seorang perempuan bahwa tuhannya adalah Isa atau salah satu dari hamba Allah," kata Ibnu Umar.
Senada dengan pendapat Ibnu Umar di atas adalah fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI). Melalui fatwanya, MUI melarang perkawinan antara orang mulim dan non-Muslim (baik Ahlul Kitab atau bukan Ahlul Kitab), baik laki-lakinya yang Muslim ataupun perempuannya yang Muslimah.
Pertimbangan atau alasan dikeluarkannya fatwa MUI tersebut adalah untuk menghindari timbulnya keburukan/kerugian (mafsadat) yang lebih besar di samping kebaikan/keuntungan (maslahat) yang ditimbulkannya.
0 komentar
Posting Komentar