Mengungkap Fatwa Ibnu Hajar (1)
REPUBLIKA.CO.ID, Satu femonena menarik yang
menggambarkan tradisi keilmuan yang berlaku di masa salaf adalah budaya
bertanya kepada pakar, istifta.
Mereka yang menemukan berbagai persoalan merujuk dan mencari keterangan kepada para ahli. Ini didasari oleh sikap kehati-hatian dan rasa percaya terhadap sosok yang dipandang memiliki penguasaan lebih.
Surat An-Nahl ayat 43 menjadi dasar pemikiran pentingnya mengembalikan permasalahan pada ahli di bidangnya. Tak terkecuali dalam masalah keagamaan. Allah SWT berfirman, “Bertanyalah kepada ahli ilmu jika kalian tidak mengetahui.”
Tugas memberikan fatwa itu diemban pula oleh seorang pakar dan penghafal hadis, Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqalani (852 H). Ulama terkemuka kelahiran Mesir, 13 Ramadhan 773 itu memberikan fatwa-fatwa kepada para murid dan masyarakat pada zaman itu.
Fatwa tersebut ada yang disampaikan secara langsung dan ada pula yang ditulis tangan dan dikirim dari berbagai wilayah. Pertanyaan-pertanyaan yang disampaikan para murid dan masyarakat kepada Ibnu Hajar dijawab sendiri dengan goresan penanya. Di antaranya terdokumentasikan dan tersebar di berbagai karya yang ditulis oleh ulama, mulai dari fikih, hadis, hingga biografi.
Salah satu kitab yang mengumpulkan koleksi ragam jawaban Ibnu Hajar atas pertanyaan masyarakat dan muridnya itu adalah kitab Al-Ajwibat Ibnu Hajar Al-Asqalani. Kitab itu berisikan jawaban Ibnu Hajar atas berbagai persoalan yang dipertanyakan oleh sejumlah muridnya, antara lain Imam As-Sakhawi.
Pertanyaan tersebut diajukan oleh murid-murid melalui tulisan tangan yang dikirim dari berbagai wilayah. Permintaan fatwa kepada Ibnu Hajar itu ada yang datang dari Makkah dan Baitul Maqdis. Sementara Ibnu Hajar kala itu berdomisili di Mesir. Berbagai pertanyaan itu dikumpulkan per kategori dan dikirimkan secara kolektif.
Ada tiga pengirim pertanyaan utama dari kumpulan fatwa Ibnu Hajar itu. Ketiganya adalah Syamsuddin bin Muhammad bin Al-Khidir Al-Mishri, Umar bin Fahad Al-Hasyimi Al-Makki, serta Zainuddin Ridwan bin muhamad bin Yusuf Al-Aqabi. Dalam kitab itu, kita juga dapat menyaksikan sisi kerendahan hati seorang Ibnu Hajar.
Mereka yang menemukan berbagai persoalan merujuk dan mencari keterangan kepada para ahli. Ini didasari oleh sikap kehati-hatian dan rasa percaya terhadap sosok yang dipandang memiliki penguasaan lebih.
Surat An-Nahl ayat 43 menjadi dasar pemikiran pentingnya mengembalikan permasalahan pada ahli di bidangnya. Tak terkecuali dalam masalah keagamaan. Allah SWT berfirman, “Bertanyalah kepada ahli ilmu jika kalian tidak mengetahui.”
Tugas memberikan fatwa itu diemban pula oleh seorang pakar dan penghafal hadis, Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqalani (852 H). Ulama terkemuka kelahiran Mesir, 13 Ramadhan 773 itu memberikan fatwa-fatwa kepada para murid dan masyarakat pada zaman itu.
Fatwa tersebut ada yang disampaikan secara langsung dan ada pula yang ditulis tangan dan dikirim dari berbagai wilayah. Pertanyaan-pertanyaan yang disampaikan para murid dan masyarakat kepada Ibnu Hajar dijawab sendiri dengan goresan penanya. Di antaranya terdokumentasikan dan tersebar di berbagai karya yang ditulis oleh ulama, mulai dari fikih, hadis, hingga biografi.
Salah satu kitab yang mengumpulkan koleksi ragam jawaban Ibnu Hajar atas pertanyaan masyarakat dan muridnya itu adalah kitab Al-Ajwibat Ibnu Hajar Al-Asqalani. Kitab itu berisikan jawaban Ibnu Hajar atas berbagai persoalan yang dipertanyakan oleh sejumlah muridnya, antara lain Imam As-Sakhawi.
Pertanyaan tersebut diajukan oleh murid-murid melalui tulisan tangan yang dikirim dari berbagai wilayah. Permintaan fatwa kepada Ibnu Hajar itu ada yang datang dari Makkah dan Baitul Maqdis. Sementara Ibnu Hajar kala itu berdomisili di Mesir. Berbagai pertanyaan itu dikumpulkan per kategori dan dikirimkan secara kolektif.
Ada tiga pengirim pertanyaan utama dari kumpulan fatwa Ibnu Hajar itu. Ketiganya adalah Syamsuddin bin Muhammad bin Al-Khidir Al-Mishri, Umar bin Fahad Al-Hasyimi Al-Makki, serta Zainuddin Ridwan bin muhamad bin Yusuf Al-Aqabi. Dalam kitab itu, kita juga dapat menyaksikan sisi kerendahan hati seorang Ibnu Hajar.
Mengungkap Fatwa Ibnu Hajar (2)
Meskipun terkenal mahir
menguasai ilmu agama, itu tak membuatnya malu untuk bertanya kepada sang
guru. Di bagian lain kitab ini disertakan pula pertanyaan-pertanyaan
Ibnu Hajar kepada gurunya, Al-Hafiz Al-Iraqi.
Hidup Lagi Setelah Mati
Dalam kitab ini, berbagai kumpulan pertanyaan itu dikategorikan menjadi 10 bagian utama. Tiap bagiannya terdiri atas tanya-jawab masing-masing dari penanya, dan jawaban langsung ditulis oleh Ibnu hajar. Sebagai contoh, mengawali paparan di permulaan kitab, di bagian pertama dimuat tentang surat-menyurat antara Ibnu Hajar dan muridnya, Ibnu Munjik Al-Asyrafi, tepatnya pada 10 terakhir Rabiul Awal 830 H.
Pertanyaan berkutat seputar soalan keabsahan berita tentang tujuh makhluk yang hidup kembali setelah mati atas perintah Allah SWT. Ibnu Hajar lantas menjawab pertanyaan itu. Menurutnya, berdasarkan sejumlah data yang dihimpun dari hadits-hadits Nabi SAW, terdapat makhluk yang hidup kembali setelah mati.
Sebagian adalah manusia dan sebagian lainnya adalah hewan. Indikasi hidup kembali itu terlihat lantaran makhluk itu melakukan aktivitas seperti berbicara dengan lisan, melakukan aktivitas fisik ataupun hidup layaknya sesamanya yang masih hidup.
Menurut Ibnu Hajar, tujuh kasus kejadian luar biasa itu masing-masing terangkum di berbagai hadits. Ia mencontohkan, hadits Anas bin Malik tentang seorang pemuda Anshar yang hidup lagi atas permintaan orang tuanya yang renta dan lanjut usia.
Kisah kedua adalah kambing yang memberikan isyarat kepada Nabi Muhammad. Hewan itu memberitahukan kepada Rasulullah untuk tidak memakan dagingnya. Hal ini karena tubuhnya mengandung racun yang dibubuhkan oleh seorang perempuan Yahudi. Kejadian itu terjadi di Khaibar, dan tercatat di riwayat Abu Hurairah.
Ketiga, peristiwa bayi perempuan yang telah dikubur hidup-hidup di sebuah lembah oleh orang tuanya sebelum masuk Islam. Setelah menjadi Muslim, ayahanda si perempuan mengadukan hal itu ke Rasulullah dan menyatakan penyesalannya.
Bersama Rasulullah, sang ayah menuju kuburan anaknya. Rasulullah menyampaikan penyesalan sang ayah di depan makam anaknya. Sang anak menjawab dan menyatakan kerelaannya karena telah memperoleh tempat yang mulia di sisi-Nya.
Keempat adalah kisah sama dengan kasus pertama. Hanya saja, di kasus ini pria yang bersangkutan adalah Ibrahim bin Nabith dari suku Asyja’i. Berbeda dengan laki-laki yang disebutkan sebelumnya, yaitu pria yang berasal dari Anshar saja.
Hidup Lagi Setelah Mati
Dalam kitab ini, berbagai kumpulan pertanyaan itu dikategorikan menjadi 10 bagian utama. Tiap bagiannya terdiri atas tanya-jawab masing-masing dari penanya, dan jawaban langsung ditulis oleh Ibnu hajar. Sebagai contoh, mengawali paparan di permulaan kitab, di bagian pertama dimuat tentang surat-menyurat antara Ibnu Hajar dan muridnya, Ibnu Munjik Al-Asyrafi, tepatnya pada 10 terakhir Rabiul Awal 830 H.
Pertanyaan berkutat seputar soalan keabsahan berita tentang tujuh makhluk yang hidup kembali setelah mati atas perintah Allah SWT. Ibnu Hajar lantas menjawab pertanyaan itu. Menurutnya, berdasarkan sejumlah data yang dihimpun dari hadits-hadits Nabi SAW, terdapat makhluk yang hidup kembali setelah mati.
Sebagian adalah manusia dan sebagian lainnya adalah hewan. Indikasi hidup kembali itu terlihat lantaran makhluk itu melakukan aktivitas seperti berbicara dengan lisan, melakukan aktivitas fisik ataupun hidup layaknya sesamanya yang masih hidup.
Menurut Ibnu Hajar, tujuh kasus kejadian luar biasa itu masing-masing terangkum di berbagai hadits. Ia mencontohkan, hadits Anas bin Malik tentang seorang pemuda Anshar yang hidup lagi atas permintaan orang tuanya yang renta dan lanjut usia.
Kisah kedua adalah kambing yang memberikan isyarat kepada Nabi Muhammad. Hewan itu memberitahukan kepada Rasulullah untuk tidak memakan dagingnya. Hal ini karena tubuhnya mengandung racun yang dibubuhkan oleh seorang perempuan Yahudi. Kejadian itu terjadi di Khaibar, dan tercatat di riwayat Abu Hurairah.
Ketiga, peristiwa bayi perempuan yang telah dikubur hidup-hidup di sebuah lembah oleh orang tuanya sebelum masuk Islam. Setelah menjadi Muslim, ayahanda si perempuan mengadukan hal itu ke Rasulullah dan menyatakan penyesalannya.
Bersama Rasulullah, sang ayah menuju kuburan anaknya. Rasulullah menyampaikan penyesalan sang ayah di depan makam anaknya. Sang anak menjawab dan menyatakan kerelaannya karena telah memperoleh tempat yang mulia di sisi-Nya.
Keempat adalah kisah sama dengan kasus pertama. Hanya saja, di kasus ini pria yang bersangkutan adalah Ibrahim bin Nabith dari suku Asyja’i. Berbeda dengan laki-laki yang disebutkan sebelumnya, yaitu pria yang berasal dari Anshar saja.
Mengungkap Fatwa Ibnu Hajar (3)
Berbeda dengan kategori pertama, di bagian kedua tidak didapati keterangan ihwal identitas penanya. Bagian kedua dijelaskan tentang sejumlah permasalahan, misalnya hukum dan derajat hadits tertentu, ataupun meminta arahan terkait makna hadits itu sendiri.Di antara isu yang ditanyakan kepada Ibnu Hajar adalah jumlah keseluruhan nabi, siapa sajakah nama mereka, dan berapa total yang diutus sebagai rasul dari mereka. Menurutnya, tidak ada kesepakatan dalam hadits tentang jumlah pasti para nabi.
Hadis riwayat Ibnu Hibban dari Abu Dzar menyebutkan, jumlah mereka yaitu 124 ribu nabi. Dari total itu, sebanyak 313 diangkat sebagai rasul. Dan, nabi pertama yang diangkat sebagai rasul adalah Adam. Tetapi, derajat hadits ini kurang kuat, karena salah satu rawinya, yaitu Ibrahim bin Hisyam bin Yahya bin Yahya Al-Ghassani, dinyatakan kerap berdusta.
Persoalan lainnya yang ditanyakan kepada Ibnu Hajar di bagian kedua yaitu perihal surat yang kerap dibaca Rasulullah di tiap rakaat shalat Jumat. Apakah Rasulullah selalu membaca surat Al-Jumu’ah, Al-Munafiqun, dan surah Al-A’la? Ataukah, Rasululullah menggantinya dengan surat lain untuk variasi?
Menurut Ibnu Hajar, dari beberapa riwayat terkait sunah membaca surah-surah tersebut antara lain riwayat Abu Hurairah, Samarah bin Jundub, dan Ubaidillah bin Abdullah. Redaksi hadits itu mengisyarakatkan surah-surah itulah yang kerap dibaca di kala shalat Jumat.
Tentang nama yang diukir di cincin Rasulullah turut ditanyakan pula. Menurut Ibnu Hajar, berdasarkan data yang diperoleh dari kitab Al-Afrad, karangan Ad-Daruquthni, keterangan terkait nama itu bisa didapati melalui riwayat yang dinukil dari Ya’la bin Umayyah.
Dalam riwayat tersebut diceritakan bahwasanya Ya’la mendapat penghargaan istimewa untuk membuat cincin itu. Tidak satu pun orang yang mendapatkan kehormatan serupa. Ya’la mengukir lafal Muhammad utusan Allah pada cincin Rasulullah.
Pada bagian yang ketiga, di antara muridnya mempertanyakan tentang jalur riwayat Ibnu Hajar tatkala menukil syair dari Ibnu Al-Faridh. Riwayat itu diperolehnya dari dari Abu Al-Abbas Ahmad bin Al-Hasan Al-Maqdisi, kemudian menyambung lagi ke Al-Badar Muhammad bin Ahmad bin Khalid Al-Faruqi, lalu tersambung lagi ke Abu Hamid Muhammad bin Umar bin Al-Farid.
Soal sanad, risalah Abu Daud As-Sajastani juga dipertanyakan. Ia menjelaskan bahwa ia memperoleh sanad itu melalui metode ijazah dari syekhnya yang bernama Abu Hurairah Ibnu Al-Hafidz Abu Abdullah Adz-Dzahabi dari Yahya bin Muhammad dan Sulaiman bin Hamzah bin Abi Umar.
0 komentar
Posting Komentar