Rusia,
di bawah rezim komunis Uni Soviet membabat habis kehidupan beragama.
Semua tempat ibadah seperti masjid, gereja, sinagog ditutup untuk
kegiatan ibadah. Sebagian bangungan dialih fungsikan untuk berbagai
keperluan rezim berkuasa. Sedang sebagian lagi dibiarkan lapuk tak
terawat. Keadaan itu terjadi pada masjid di Saint Petersburg yang sejak
1940 hingga 1956 diubah menjadi gudang.
Saint Petersburg, adalah ibukota Rusia ketika masih berbentuk kekaisaran. Kota itu ketika era Uni Soviet bernama Leningrad (Lenin Gorad), nama yang dinisbatkan kepada bapak pendiri Uni Soviet, Vladimir Ilyisch Lenin. Saint Peterburg disebut sebut sebagai kota terindah di Eropa, dengan gedung-gedung berarsitektur menawan dan lanskap kota yang luar biasa. Salah satu bangunan indah di antara deretan arsitektur kota tersebut adalah bangunan masjidnya. salah satu masjid Saint Patesburg
Masjid indah ini dilengkapi dengan dua menara setinggi 49 meter lengkap dengan kubah setinggi 39 meter. Dengan kapasitas mencapai 5000 orang jamaah. Restorasi besar besaran di tahun 1980 membuat masjid ini mampu mempertahankan rekornya sebagai salah satu masjid terbesar di Eropa. Pemisahan antara jemaah pria dan wanita bukan dengan pemberian partisi di ruang yang sama, tapi dengan pemisahan tempat. Lantai dasar masjid diperuntukkan bagi jamaah pria sementara lantai satu masjid diperuntukkan khusus untuk jamaah wanita.
Masjid Saint Petersburg mulai digunakan pertama kali pada tahun 1913, menandai peringatan 300 tahun berkuasanya keluarga Romanov di Rusia meskipun kala itu pembangunan masjid belum selesai seratus persen. Keseluruhan proses pembangunan baru selesai tujuh tahun kemudian dan rencananya akan dibuka untuk umum secara reguler dalam menyelenggarakan kegiatan peribadatan pada tahun 1920. Runtuhnya kekuasan Tsar Rusia oleh Rezim Komunis Uni Soviet pada tahun 1917, kemudian menjadikan Masjid Saint Petersburg terbengkalai dan diubah fungsinya menjadi gudang penyimpanan perlengkapan medis dari tahun 1940 hingga tahun 1956.
Masjid Saint Petersburg dan Kharisma Soekarno
Kala itu, Soekarno sedang menikmati indahnya kota St. Petersburg yang didirikan oleh Peter the Great pada abad 17. Kota yang senantiasa menjadi rebutan banyak negara dalam berbagai masa itu memang sangat cantik, berarsitektur ala Eropa Barat dan terletak di delta sungai Neva. Kota ini pernah menjadi ibukota kekaisaran Rusia selama dua ratus tahun. Disini pula berdiri istana-istana terkenal, seperti istana musim panas Peterhof, istana musim dingin Hermitage, benteng Peter and Paul serta landskap kota yang tidak kalah dengan kota mode Paris.
Dari dalam mobil itu, Soekarno sekelebatan melihat sebuah bangunan yang unik dan tidak ada duanya. Sopir diminta untuk kembali memutar jalan untuk melihat bangunan tersebut, namun bergeming. Tidak ada perintah untuk memutar apalagi berhenti. Pada zaman itu, di bawah pemerintahan komunis nyaris tidak ada kekuasaan dan kesempatan berdiskusi yang diberikan kepada seorang sopir.
“Bangunan apa tadi itu,” tanya sang Presiden.
“Itu dulunya sebuah masjid,” jawab sang pengemudi.
“Kalau dulu masjid, sekarang digunakan untuk apa?”
“Oh… hampir semua gereja dan masjid saat ini menjadi gudang atau semacamnya,” sahut sopir.
Pembicaraan sekilas tadi membuat Presiden Indonesia itu tidak nyenyak tidurnya. Ia terngiang-ngiang gedung berkubah biru dengan arsitek Asia tengah itu. Dindingnya sekilas terbuat dari batu yang dibuat secara khusus, dua menaranya menjulang tinggi bersaing dengan beberapa gereja yang tidak jauh dari situ sedangkan pelatarannya cukup luas. Dalam taksiran Soekarno, bangunan yang disebut masjid itu pastilah mampu menampung lebih dari 3000 muslim bersembahyang berjamaah.
Dalam suatu jamuan makan, Presiden melontarkan permintaan agar pada hari berikutnya diatur suatu kunjungan ke masjid yang dilihatnya. Namun aturan protokoler tidak memungkinkan karena acara yang disusun sudah sangat padat.
Setelah dua hari menikmati keindahan kota St. Petersburg yang saat itu masih bernama Leningrad, Soekarno terbang ke Moskow untuk melakukan pembicaraan tingkat tinggi guna membahas masa depan kerja sama bilateral dan berbagai posisi kunci dalam Perang Dingin yang terus memuncak. Kehangatan kedua pemerintahan memang sedang mencapai titik kulminasi, antara lain dengan pengiriman ribuan mahasiswa Indonesia yang kemudian dikenal dengan mahasiswa ikatan dinas (Mahid).
Dalam bincang-bincang di istana Kremlin itu sempat tersiar kabar suatu pembicaraan yang unik diantara kedua pemimpin bangsa. Tentunya, sang pengundang menginginkan agar Presiden Soekarno dapat menikmati liburannya di Leningrad bersama salah satu putrinya. Apalagi berbagai fasilitas papan atas telah disiapkan.
“Bagaimana kunjungan ke Leningrad tuan Presiden. Tentu sangat menyenangkan, bukan,”
Diluar dugaan Soekarno memberikan jawaban yang mengagetkan. “Rasanya saya belum pernah ke Leningrad,” ujarnya.
“Tuan Presiden memang pandai bertutur. Ada apa yang salah dengan Leningrad. Bukannya kemarin dua hari berjalan-jalan dengan sang puteri di sana.”
“Ya. Kami memang berada disana, tapi kami belum kesana.”
“Kenapa begitu?”
“Karena kami tidak pernah diberikan kesempatan untuk menengok bangunan yang disebut masjid biru.”
Kekecewaan berat menerpa sang pemimpin besar revolusi Indonesia itu ketika mengetahui kondisi masjid tersebut yang diperlakukan tidak selayaknya sebagai masjid tetapi sebagai gudang. Kekecewaan itulah yang kemudian disampaikan Presiden Soekarno kepada Presiden Uni Soviet Nikita Kruschev pada jamuan kenegaraan di Kremlin. Presiden Soekarno tidak sekedar mengharapkan Kruschev memfungsikan kembali Masjid Saint Petersburg melainkan mengharapkan pula agar masjid itu boleh digunakan oleh umat Islam Saint Petersburg untuk beribadah.
Permintaan Presiden Soekarno itu seperti mustahil dikabulkan oleh presiden Uni Soviet yang tegas menerapkan Marxisme dalam bernegara. Tapi anehnya, 10 hari setelah kepulangan RI Presiden Soekarno ke Indonesia, secara mengejutkan keluar perintah resmi dari Kremlin untuk memfungsikan kembali Masjid Saint Petersburg dan bahkan mengembalikan masjid itu kepada kaum muslimin tanpa syarat apa pun. Kado dari Presiden Soekarno itu sangat mengejutkan umat Islam Saint Petersburg, dan sejarah inilah yang kemudian menjadi sebuah kenangan manis yang abadi bagi Muslim Saint Petersburg hingga saat ini. Kharisma Bung Karno memang luar biasa, berhasil mengubah kebijakan pemerintah otoriter yang bertentangan dengan prinsip-prinsip ideologisnya
Aktivitas Masjid Saint Petersburg
Di hari jum’at sebelum sholat jum’at dilaksanakan, dibacakan ayat ayat suci Al-qur’an. Khutbah disampaikan dalam dua bahasa, bahasa Tatar dan Bahasa Rusia. Tak hanya menyelenggarakan kegiatan peribadatan, Masjid Saint Petersburg juga menjadi pusat pendidikan dan kebudayaan Islam terkemuka di Saint Petersburg.
Imam Masjid dan Mufti Saint Petersburg Cafer Nasibullahoglu mengatakan bahwa ketika masjid Saint Petersburg dibangun sudah ada 8000 orang muslim yang di kota itu dan sudah menjadi salah satu komunitas terbesar di Saint Petersburg kala itu. Bandingkan dengan saat ini, Muslim di kota Saint Petersburg sudah mencapai 700.000 jiwa dan masjid-masjid di kota ini sudah tak mampu lagi menampung jamaah yang membludak, dan sudah menjadi pemandangan umum bila jamaah sholat jum’at di kota ini dan di kota kota lain di Rusia senantisa meluber hingga ke jalan raya.
“Kini semua umat Islam di St. Petersburg sangat berterima kasih kepada almarhum Soekarno. Kami akan ingat jasa-jasanya.,” ujar mufti Ja’far Nasibullah yang sudah 31 tahun menjadi tulang punggung masjid. “Tanpa Soekarno mungkin masjid indah yang didirikan 1910 ini sudah hancur sebagaimana masjid dan gereja lainnya. Semoga Allah SWT memberikan surga tertinggi baginya,” doa sang Imam dengan mimik yang serius sambil mengangkat kedua tangannya.
Saint Petersburg, adalah ibukota Rusia ketika masih berbentuk kekaisaran. Kota itu ketika era Uni Soviet bernama Leningrad (Lenin Gorad), nama yang dinisbatkan kepada bapak pendiri Uni Soviet, Vladimir Ilyisch Lenin. Saint Peterburg disebut sebut sebagai kota terindah di Eropa, dengan gedung-gedung berarsitektur menawan dan lanskap kota yang luar biasa. Salah satu bangunan indah di antara deretan arsitektur kota tersebut adalah bangunan masjidnya. salah satu masjid Saint Patesburg
Masjid indah ini dilengkapi dengan dua menara setinggi 49 meter lengkap dengan kubah setinggi 39 meter. Dengan kapasitas mencapai 5000 orang jamaah. Restorasi besar besaran di tahun 1980 membuat masjid ini mampu mempertahankan rekornya sebagai salah satu masjid terbesar di Eropa. Pemisahan antara jemaah pria dan wanita bukan dengan pemberian partisi di ruang yang sama, tapi dengan pemisahan tempat. Lantai dasar masjid diperuntukkan bagi jamaah pria sementara lantai satu masjid diperuntukkan khusus untuk jamaah wanita.
Masjid Saint Petersburg mulai digunakan pertama kali pada tahun 1913, menandai peringatan 300 tahun berkuasanya keluarga Romanov di Rusia meskipun kala itu pembangunan masjid belum selesai seratus persen. Keseluruhan proses pembangunan baru selesai tujuh tahun kemudian dan rencananya akan dibuka untuk umum secara reguler dalam menyelenggarakan kegiatan peribadatan pada tahun 1920. Runtuhnya kekuasan Tsar Rusia oleh Rezim Komunis Uni Soviet pada tahun 1917, kemudian menjadikan Masjid Saint Petersburg terbengkalai dan diubah fungsinya menjadi gudang penyimpanan perlengkapan medis dari tahun 1940 hingga tahun 1956.
Masjid Saint Petersburg dan Kharisma Soekarno
Kala itu, Soekarno sedang menikmati indahnya kota St. Petersburg yang didirikan oleh Peter the Great pada abad 17. Kota yang senantiasa menjadi rebutan banyak negara dalam berbagai masa itu memang sangat cantik, berarsitektur ala Eropa Barat dan terletak di delta sungai Neva. Kota ini pernah menjadi ibukota kekaisaran Rusia selama dua ratus tahun. Disini pula berdiri istana-istana terkenal, seperti istana musim panas Peterhof, istana musim dingin Hermitage, benteng Peter and Paul serta landskap kota yang tidak kalah dengan kota mode Paris.
Dari dalam mobil itu, Soekarno sekelebatan melihat sebuah bangunan yang unik dan tidak ada duanya. Sopir diminta untuk kembali memutar jalan untuk melihat bangunan tersebut, namun bergeming. Tidak ada perintah untuk memutar apalagi berhenti. Pada zaman itu, di bawah pemerintahan komunis nyaris tidak ada kekuasaan dan kesempatan berdiskusi yang diberikan kepada seorang sopir.
“Bangunan apa tadi itu,” tanya sang Presiden.
“Itu dulunya sebuah masjid,” jawab sang pengemudi.
“Kalau dulu masjid, sekarang digunakan untuk apa?”
“Oh… hampir semua gereja dan masjid saat ini menjadi gudang atau semacamnya,” sahut sopir.
Pembicaraan sekilas tadi membuat Presiden Indonesia itu tidak nyenyak tidurnya. Ia terngiang-ngiang gedung berkubah biru dengan arsitek Asia tengah itu. Dindingnya sekilas terbuat dari batu yang dibuat secara khusus, dua menaranya menjulang tinggi bersaing dengan beberapa gereja yang tidak jauh dari situ sedangkan pelatarannya cukup luas. Dalam taksiran Soekarno, bangunan yang disebut masjid itu pastilah mampu menampung lebih dari 3000 muslim bersembahyang berjamaah.
Dalam suatu jamuan makan, Presiden melontarkan permintaan agar pada hari berikutnya diatur suatu kunjungan ke masjid yang dilihatnya. Namun aturan protokoler tidak memungkinkan karena acara yang disusun sudah sangat padat.
Setelah dua hari menikmati keindahan kota St. Petersburg yang saat itu masih bernama Leningrad, Soekarno terbang ke Moskow untuk melakukan pembicaraan tingkat tinggi guna membahas masa depan kerja sama bilateral dan berbagai posisi kunci dalam Perang Dingin yang terus memuncak. Kehangatan kedua pemerintahan memang sedang mencapai titik kulminasi, antara lain dengan pengiriman ribuan mahasiswa Indonesia yang kemudian dikenal dengan mahasiswa ikatan dinas (Mahid).
Dalam bincang-bincang di istana Kremlin itu sempat tersiar kabar suatu pembicaraan yang unik diantara kedua pemimpin bangsa. Tentunya, sang pengundang menginginkan agar Presiden Soekarno dapat menikmati liburannya di Leningrad bersama salah satu putrinya. Apalagi berbagai fasilitas papan atas telah disiapkan.
“Bagaimana kunjungan ke Leningrad tuan Presiden. Tentu sangat menyenangkan, bukan,”
Diluar dugaan Soekarno memberikan jawaban yang mengagetkan. “Rasanya saya belum pernah ke Leningrad,” ujarnya.
“Tuan Presiden memang pandai bertutur. Ada apa yang salah dengan Leningrad. Bukannya kemarin dua hari berjalan-jalan dengan sang puteri di sana.”
“Ya. Kami memang berada disana, tapi kami belum kesana.”
“Kenapa begitu?”
“Karena kami tidak pernah diberikan kesempatan untuk menengok bangunan yang disebut masjid biru.”
Kekecewaan berat menerpa sang pemimpin besar revolusi Indonesia itu ketika mengetahui kondisi masjid tersebut yang diperlakukan tidak selayaknya sebagai masjid tetapi sebagai gudang. Kekecewaan itulah yang kemudian disampaikan Presiden Soekarno kepada Presiden Uni Soviet Nikita Kruschev pada jamuan kenegaraan di Kremlin. Presiden Soekarno tidak sekedar mengharapkan Kruschev memfungsikan kembali Masjid Saint Petersburg melainkan mengharapkan pula agar masjid itu boleh digunakan oleh umat Islam Saint Petersburg untuk beribadah.
Permintaan Presiden Soekarno itu seperti mustahil dikabulkan oleh presiden Uni Soviet yang tegas menerapkan Marxisme dalam bernegara. Tapi anehnya, 10 hari setelah kepulangan RI Presiden Soekarno ke Indonesia, secara mengejutkan keluar perintah resmi dari Kremlin untuk memfungsikan kembali Masjid Saint Petersburg dan bahkan mengembalikan masjid itu kepada kaum muslimin tanpa syarat apa pun. Kado dari Presiden Soekarno itu sangat mengejutkan umat Islam Saint Petersburg, dan sejarah inilah yang kemudian menjadi sebuah kenangan manis yang abadi bagi Muslim Saint Petersburg hingga saat ini. Kharisma Bung Karno memang luar biasa, berhasil mengubah kebijakan pemerintah otoriter yang bertentangan dengan prinsip-prinsip ideologisnya
Aktivitas Masjid Saint Petersburg
Di hari jum’at sebelum sholat jum’at dilaksanakan, dibacakan ayat ayat suci Al-qur’an. Khutbah disampaikan dalam dua bahasa, bahasa Tatar dan Bahasa Rusia. Tak hanya menyelenggarakan kegiatan peribadatan, Masjid Saint Petersburg juga menjadi pusat pendidikan dan kebudayaan Islam terkemuka di Saint Petersburg.
Imam Masjid dan Mufti Saint Petersburg Cafer Nasibullahoglu mengatakan bahwa ketika masjid Saint Petersburg dibangun sudah ada 8000 orang muslim yang di kota itu dan sudah menjadi salah satu komunitas terbesar di Saint Petersburg kala itu. Bandingkan dengan saat ini, Muslim di kota Saint Petersburg sudah mencapai 700.000 jiwa dan masjid-masjid di kota ini sudah tak mampu lagi menampung jamaah yang membludak, dan sudah menjadi pemandangan umum bila jamaah sholat jum’at di kota ini dan di kota kota lain di Rusia senantisa meluber hingga ke jalan raya.
“Kini semua umat Islam di St. Petersburg sangat berterima kasih kepada almarhum Soekarno. Kami akan ingat jasa-jasanya.,” ujar mufti Ja’far Nasibullah yang sudah 31 tahun menjadi tulang punggung masjid. “Tanpa Soekarno mungkin masjid indah yang didirikan 1910 ini sudah hancur sebagaimana masjid dan gereja lainnya. Semoga Allah SWT memberikan surga tertinggi baginya,” doa sang Imam dengan mimik yang serius sambil mengangkat kedua tangannya.
Basic information
Location : St. Petersburg, Russia
Affiliation ; Islam
Status : Active
Architectural description
Architect(s) : Nikolai Vasilyev
Architectural type : Mosque
Completed : 1921
Specifications
Capacity : 5,000
Dome(s) : 1
Dome height (outer) : 39 meters
Minaret(s) : 2
Minaret height : 49 meters
Location : St. Petersburg, Russia
Affiliation ; Islam
Status : Active
Architectural description
Architect(s) : Nikolai Vasilyev
Architectural type : Mosque
Completed : 1921
Specifications
Capacity : 5,000
Dome(s) : 1
Dome height (outer) : 39 meters
Minaret(s) : 2
Minaret height : 49 meters
0 komentar
Posting Komentar