Oleh: Prof Imam Suprayogo
Imbauan, perintah, instruksi, dan khotbah tentang pentingnya kerukunan telah sering disampaikan kepada masyarakat. Tetapi, yang lebih dari itu semua adalah contoh atau teladan yang nyata. Contoh dimaksud mesti datang dari para pemimpinnya, baik pemimpin formal maupun nonformal. Teladan itulah yang rupanya mulai memudar di negeri ini.
Melalui media massa atau jejaring sosial, dengan mudah kita dapatkan informasi tentang konflik yang terjadi di kalangan pemimpin bangsa ini. Berbagai persoalan bangsa diselesaikan secara terbuka lewat konflik, perseteruan, saling curiga, tuduh-menuduh, saling menjatuhkan antarsesama, dan lainnya. Bahkan, melalui caranya sendiri, di antara mereka menghina sesama dianggap sebagai sesuatu yang biasa. Mereka berdalih, di zaman demokrasi yang terbuka semua itu adalah hal yang wajar.
Orang tua pada zaman dulu, sekalipun tidak berpendidikan tinggi, memiliki kearifan yang tinggi. Mereka menganggap dalam kehidupan sosial selalu membutuhkan contoh atau teladan. Tidak boleh dalam keluarga, apalagi komunitas yang lebih luas, bila tak memiliki orang-orang yang bisa dijadikan teladan.
Karena itu, agar kesalahan sang teladan itu tidak diketahui orang lain dan anak-anaknya, maka mereka akan menunggu waktu yang tepat untuk menyampaikannya. Orang pedesaan di Jawa menyebutnya nunggu sepining gegodongan runtuh. Artinya, pembicaraan penting yang dikhawatirkan akan melahirkan dampak negatif, hendaknya disampaikan dengan hati-hati dan tak boleh ada orang lain mengetahuinya.
Hal itu bertolak belakang dengan keadaan sekarang. Penyelesaian problem, baik yang berat dan apalagi yang ringan, justru diselesaikan secara terbuka, dan bahkan disiarkan langsung melalui media massa. Orang yang berselisih dipertontonkan di muka umum, tidak terkecuali perselisihan di antara para pemimpin bangsa yang seharusnya menjaga kehormatannya. Akibatnya, rakyat menjadi tahu dengan jelas, siapa lawan siapa, karena konflik dilakukan secara terbuka.
Dalam keadaan seperti itu, rasanya memang agak sulit menjadikan bangsa ini benar-benar bisa hidup damai, tenteram, saling menghargai, menghormati dan memuliakan. Masing-masing saling membidik dan menjatuhkan.
Gejala lain yang juga sangat memprihatinkan adalah nafsu untuk menguasai dan menenggelamkan kelompok lain. Padahal, kita dikenal sebagai bangsa yang majemuk (plural) dengan beragam suku bangsa, etnis, bahasa, adat istiadat, dan agama. Mestinya perbedaan itu tidak dijadikan alasan untuk meninggalkan atau menjatuhkan pihak lain.
Karenanya, para pemimpin bangsa ini harus memberi contoh terbaik untuk menyatukan semuanya. Mengajak seluruh elemen bangsa untuk bersatu padu menjaga kedamaian dan keamanan. Manakala ada persoalan maka diselesaikan dengan cara dialog dan tabayun (kroscek).
Jika memilih pejabat maka ukurannya adalah keluasan wawasan, ilmu, profesionalitas, integritas, dan bukan atas pertimbangan asal-usul dan kesa maan organisasi, aliran, dan semacamnya. Segala perbedaan harus ditinggalkan. Para pemimpin harus mampu mengayomi betapa pentingnya kebersamaan dan kerukunan itu. Rakyat membutuhkan keteladanan dari pemimpinnya untuk hidup rukun. Wallahu a’lam.
0 komentar
Posting Komentar