Sulawesi adalah jantung Nusantara yang mewakili kompleksitas geologi hasil tumbukan tiga lempeng benua: Eurasia, Australia, dan Pasifik. Pergerakan geologi itu menciptakan Sulawesi sebagai rumah beragam satwa endemis yang tak ada padanannya di dunia.
Pada masa lalu, pulau ini telah menginspirasi naturalis Alfred Russel Wallace untuk meletakkan dasar ilmu Biogeografi dan melahirkan konsep seleksi alam yang mendasari Teori Evolusi. Namun, keberlimpahan tanah Sulawesi yang melegenda itu terancam menjadi dongeng karena dahsyatnya tingkat perusakan.
*****
Matahari tepat di atas kepala. Teriknya membakar. Belantara menyisakan tong gak-tong gak kayu raksasa sisa tebangan yang menyembul di antara ladang jagung. Namun, begitu menyeberangi Sungai Paguyaman dan memasuki lebat Hutan Nantu di pinggiran Provinsi Gorontalo, kami pun tersedot ke dunia lain.
Pepohonan tumbuh meraksasa. Tajuknya membentuk lorong yang menghalangi sinar matahari. Onak menyulur di lantai hutan yang lembab dan gelap. Riuh burung bersahutan. Siang serasa malam karena derit serangga tanpa jeda.
Dari balik pepohonan, James Komolontang (46) dan Jack Komolontang (37) menyambut dengan sikap penuh selidik. Suasana mencair saat kami menyerahkan surat izin memasuki kawasan Suaka Margasatwa Nantu. James dan Jack adalah staf Yayasan Adudu Nantu Internasional (YANI) yang bertanggung jawab menjaga Hutan Nantu, dibantu beberapa anggota Brimob Gorontalo.
"Kalau tidak dijaga, hutan ini sudah habis dijarah," kata James. Lelaki dari Minahasa, Sulawesi Utara, itu berperawakan gempal, tetapi gerakannya gesit. Dia mantan pemburu binatang yang kemudian direkrut YANI untuk menjaga Hutan Nantu. Sudah 10 tahun dia bertugas sebagai jaga wana di Nantu, hutan yang mendapatkan namanya dari banyaknya pohon nantu (Palaquium sp) di sana.
Hari hampir tiba di ujung ketika James mengajak beranjak untuk mencari penghuni Hutan Nantu. Kami berjalan pelan, menyusuri jalan setapak berlumpur. Pohon rao (Dracontomelom dao) tumbuh hingga 40 meter tingginya, terlihat menjulang di antara lebat pohon nantu.
Sesekali kami mesti merunduk, menghindari belitan rotan dan akar gantung yang berjuluran. Jejak kaki binatang tercetak di lantai hutan, menyamarkan jutaan lintah penghisap darah. Rapat tajuk pepohonan mempercepat kelam. Dedaunan yang beradu, diembus angin, mencipta bunyi gemerisik.
Di pinggir kubangan air panas bersumber dari panas bumi, yang disebut masyarakat setempat sebagai adudu, James tiba-tiba memberi isyarat dengan telunjuknya. ”Ssst jangan bersuara,” bisiknya sambil menunjuk kawanan binatang yang asyik mandi sauna.
Lidah binatang itu terjulur, menjilati lumpur kaya mineral. Dua pasang taring menyembul keluar dari mulut sang jantan. Sepasang taring di rahang bawah sangat panjang dan sepasang taring lainnya, yang tumbuh dari rahang atas, keluar lewat hidung lalu melengkung ke atas seperti tanduk hingga mendekati kedua mata. Sepintas, wajah binatang itu mirip babi, tetapi tubuh dan kaki mereka seramping rusa. Paduan ciri babi dengan rusa inilah yang membuat binatang ini disebut babirusa (Babyrousa babyrussa).
Taring babirusa menciptakan sosok yang tak ada padanannya dengan binatang di belahan dunia lain. Naturalis Inggris, Alfred Russel Wallace, yang menjelajah hutan Sulawesi 150 tahun lalu dibuat bingung olehnya. ”Pengelompokan babirusa sulit dilakukan karena tidak mempunyai persamaan dengan babi dari mana pun di dunia ini,” tulis Wallace dalam bukunya, The Malay Archipelago (1869).
Jika tubuhnya adalah paduan babi dan rusa, taring binatang ini, menurut Wallace, mengingatkan pada warthog afrika (Phacochoerus africanus).
”Tidak diketahui pasti kegunaan taring luar biasa yang menyerupai tanduk ini. Beberapa penulis mengemukakan bahwa taring itu berfungsi sebagai pengait agar dapat mengistirahatkan kepala di dahan. Akan tetapi, taring tersebut sepertinya lebih mungkin untuk melindungi mata dari onak dan duri saat mencari buah-buahan di antara rotan dan tumbuhan berduri lainnya,” tulis Wallace.
Namun, Wallace buru-buru menyanggah dugaannya. ”Ini juga tidak memuaskan karena babirusa betina yang mencari makan dengan cara yang sama tidak memiliki taring seperti itu.”
Tiba-tiba, belasan babirusa itu kocar-kacir. Adudu itu pun sepi. Dari balik belukar, muncul tiga ekor binatang mirip sapi atau kerbau—tetapi jelas bukan keduanya. Kulit dua binatang yang telah dewasa berwarna coklat kehitaman, sementara sang anak coklat kekuningan. Tanduk kecil dan runcing tegak di atas kepala. Walaupun terlihat asyik menjilati lumpur, sesekali mereka mendongak memperlihatkan sepasang mata yang awas. Cuping telinga selalu bergerak-gerak menandakan kesiapsiagaan.
”Itu anoa, jarang sekali dia muncul, apalagi sampai tiga ekor,” kata James.
Sebagaimana babirusa, anoa (Anoa depressicornis) hanya ditemui di Sulawesi. ”Hewan ini masih belum jelas masuk kelompok sapi liar, kerbau, atau antelop. Tubuhnya yang lebih kecil daripada sapi membuatnya terlihat seperti antelop afrika,” tulis Wallace.
Wallace menyebutkan, binatang ini hanya ditemukan di gunung-gunung dan tidak ditemukan di habitat rusa. Dia tak menyebutkan tentang kebiasaan anoa yang juga suka menjilati air belerang dari mata air panas.
Selang satu menit kemudian, kawanan babirusa yang sebelumnya kabur kembali ke adudu. Kedua kelompok binatang bersama-sama menikmati adudu di senja itu. Di antara kaki-kaki mereka, seekor biawak (Varanus indicus) berjalan pelan, melintasi kubangan. Kicauan burung srigunting sulawesi (Dicrurus montanus) dan lengkingan suara kera (Macaca hecki) riuh bersahutan dari atas pohon. Di pucuk pepohonan, seekor julang sulawesi (Rhyticeros cassidix) mengepakkan sayap besarnya, meninggalkan suara menderu seperti baling-baling helikopter.
Burung jenis rangkong itu sebesar ayam jantan, warna bulunya sebagian besar hitam. Hanya bagian leher yang berwarna kuning dengan semburat warna biru di dekat paruh besarnya yang juga berwarna kuning. Di atas paruh, terdapat tanduk merah menyala.
Seiring kembalinya burung julang ke sarang, kegelapan menyelimuti Hutan Nantu. Rombongan babi hutan menghampiri pondok, mengais sampah dapur. Kucing hutan mencuri roti di atas meja, mengoyak plastik pembungkus dan meninggalkan remah-remah.
Malam hari di Hutan Nantu adalah keriuhan derit serangga. Beberapa kali burung betet yang berpesta di tengah malam menjatuhkan biji buah-buahan sejenis duku ke atap seng, menimbulkan bunyi keras memekakkan telinga. Menjelang terbitnya Matahari, gaduh jerit tangkasi (Tarsius spectrum) membuat mata tak bisa lagi terpejam.
Sumber : (Tim Penulis Ekspedisi Cincin Api Kompas)
0 komentar
Posting Komentar