Rabu, 18 Juli 2012

Menyikapi Perbedaan Awal Ramadhan


Penetapan awal Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah di Indonesia memiliki potensi yang cukup besar. Ini diduga karena belum adanya kesepakatan tentang kriteria hilal dan metode penentuan itsbat. 

Di satu sisi, perbedaan yang muncul adalah bentuk dinamika pemahamaman dan pengambilan hukum (istinbath) yang diperbolehkan dalam agama.

Menyikapi semua itu, diperlukan kearifan dan kebijakan berpikir dan bersikap. Namun di sisi lain, pemandangan tersebut dinilai memunculkan kesan ketidakkompakan umat Islam.

Kondisi ini telah menyita perhatian serius para ulama di Tanah Air. Berbagai upaya juga telah dilakukan dalam rangka menemukan titik temu kesepakatan terkait kriteria hilal dan metode penetapannya. 

Badan Hisab Rukyat Kementerian Agama, misalnya, mencatat berkali-kali menggelar pertemuan untuk menguraikan benang kusut tersebut, tapi belum menemukan titik temu.

Sebelumnya, soal perbedaan penetapan tersebut juga menyedot konsentrasi cendekiawan Muslim Nusantara. Ini terlihat jelas dalam Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia pada 16 Desember 2003. Dalam pertemuan tersebut, dihasilkan beberapa ketetapan menyikapi berbagai potensi perbedaan penentuan awal bulan.

Mengutip Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI), dalam pertemuan itu ditetapkan, agar dapat menutup celah perbedaan dan tidak menimbulkan kebingungan di kalangan umat, seluruh umat Islam wajib mengikuti ketetapan Pemerintah RI tentang penetapan awal Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah.

Selama proses penetapannya, Menteri Agama—selaku otoritas pemerintah yang diberi kuasa oleh pemimpin negara—wajib berkonsultasi dengan MUI, ormas-ormas Islam, dan instansi terkait. Metode penetapannya pun diilakukan berdasarkan metode rukyat dan hisab.

Fatwa ini juga membahas tentang kemungkinan persamaan mathla’ (titik terbit) hilal di negara-negara lainnya. Selama memiliki persamaan dengan Indonesia, hasil rukyat tersebut dapat dijadikan pedoman penetapan oleh pemerintah.

Terkait dasar dan argumentasi fatwa, ada beberapa landasan dalil yang menjadi rujukan. Di antaranya ialah ayat ke-59 Surah An-Nisaa’:

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-(Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Alquran) dan Rasul (sunahnya).”

Hadis Bukhari dari Irbadh bin Sariyah menjelaskan bahwa wajib hukumnya menaati pemimpin. Meskipun, saat itu, pemimpin yang bersangkutan berasal dari hamba sahaya. 

Imam As-Syarwani dalam Hasyiyah As-Syarwani mengatakan, letak perbedaan ialah ketika seorang hakim belum mengeluarkan ketetapan. Karenanya, bila sang hakim—dalam konteks Indonesia adalah pemerintah—telah memberikan keputusan terkait awal puasa itu, segenap masyarakat wajib berpuasa. 

Keputusannya pun tidak bisa dibatalkan, menurut konsensus (ijmak) para ulama. Sebuah kaidah fikih juga kerap digunakan untuk mendukung otoritas pemerintah tersebut. Kaidah itu berbunyi, “Keputusan pemerintah itu mengikat dan menghilangkan silang pendapat.”

Pendapat yang sama juga dikeluarkan oleh sejumlah lembaga fatwa luar negeri. Salah satunya ialah Dar Al Ifta, Mesir. Mengutip laman resmi lembaga fatwa otoritatif di negara yang berjuluk Negara Seribu Menara itu, didapati bahwa untuk menguraikan perbedaan di satu negara, ketetapan hakim—dalam hal ini pemerintah atau lembaga fatwa tertunjuk wajib diiikuti.

Tetapi, berdasarkan fatwa pada 2003 lembaga yang dipimpin oleh Syekh Ali Jum’ah tersebut, khusus bagi penetapan awal Dzulhijjah, hendaknya negara-negara yang berbeda berkiblat pada ketetapan Pemerintah Arab Saudi. Ini karena erat kaitannya dengan pelaksanaan haji, terutama berkenaan dengan ibadah wukuf di Arafah. Wukuf yang merupakan rukun utama haji, berlangsung pada 9 Dzulhijjah.

Ini ditentukan berdasarkan pengumuman oleh Dewan Hakim Tertinggi Arab Saudi. Karena itu, menurut Dar Al Ifta, bila melihat hilal dan itu bertentangan dengan ketetapan Arab Saudi terkait wukuf dan Idul Adha, penetapan tidak boleh dilakukan dan tetap harus merujuk pada hasil ketetapan “Pelayan Dua Haram” tersebut. Bila tidak, dikhawatirkan akan terjadi kontradiksi dan perpecahan umat.

0 komentar