Rabu, 07 November 2012

Jejak Austronesia di Tanah Lotong


Sebuah jejak penting kedatangan bangsa Austronesia dari daratan Asia ke Nusantara hendak dihapuskan. Alasannya, lembah permai di Tanah Lotong, Kabupaten Mamuju, Sulawesi Barat, tempat ditemukannya situs itu akan ditenggelamkan untuk kepentingan proyek pembangkit listrik tenaga air. 

Pagi itu 10 hari menjelang peringatan ke-67 Kemerdekaan Indonesia. Umbul-umbul warna-warni menghiasi jalanan di Desa Kalumpang, berseling dengan bendera merah putih.

Desa Kalumpang adalah bagian dari Tanah Lotong, sebutan adat untuk lembah yang terletak dekat hulu Sungai Karama. Tanah Lotong meliputi desa-desa di Kecamatan Kalumpang dan Kecamatan Bonehau di pedalaman Kabupaten Mamuju. Masyarakat setempat menyebut diri sebagai masyarakat adat Tanah Lotong.

Lokasi itu berjarak 135 kilometer dari pusat kabupaten dan provinsi di Mamuju. Sejauh 60 kilometer di antaranya melalui jalan tanah berbatu, melintasi sekitar 20 anak sungai, dan menerobos kanopi hutan.

Tanah Lotong artinya tanah subur. Diberkati dengan sumber mata air bersih yang melimpah dan dipagari bukit dengan hutan yang asri. Masyarakatnya pun hidup damai.

Dari balik dinding Sekolah Dasar Negeri Kalumpang terdengar lantang nyanyian lagu Indonesia Pusaka karya Ismail Marzuki. Anak-anak itu berlatih untuk menyambut peringatan kemerdekaan.

Lagu syahdu itu seolah dinyanyikan anak-anak Kalumpang untuk menyindir nasib mereka yang sebentar lagi akan terusir. Desa mereka tak lama lagi akan dihapus dari peta.

Pemerintah berencana membangun proyek pembangkit listrik tenaga air (PLTA) di Tanah Lotong dan memindahkan empat klan masyarakat adat meliputi Karama, Karataun, Bonehau, dan Kalumpang. Jumlah warga di lembah ini diperkirakan 20.000 jiwa.

Masyarakat pertama kali mendengar rencana pembangunan PLTA dari Bupati Mamuju Suhardi Duka pada Desember 2011. Mereka menyikapi dengan unjuk rasa ke kantor Gubernur Sulawesi Barat di Mamuju, 14-16 Februari 2012. ”Saat itu kami tidur di halaman kantor gubernur,” kata Pemangku Adat (Tobarak) Desa Kalumpang Silas Paindan (72).

Pada 12 Juli, Universitas Hasanuddin selaku lembaga pengkaji mengundang perwakilan masyarakat adat Tanah Lotong ke Makassar untuk memaparkan soal proyek dan relokasi.

”Kami dijanjikan kesejahteraan. Kesejahteraan model apa yang akan diberikan kepada kami? Kami sudah cukup sejahtera,” kata Pemangku Adat Masyarakat Tanah Lotong Robert Eli Sipayo (70). ”Kami mungkin tidak terlalu kaya menurut ukuran orang kota. Tapi tidak ada orang miskin maupun pengangguran. Di sini juga tidak ada pencurian, perampokan, pembunuhan. Kami hidup aman, tenteram, dan damai,” kata dia.

Eli menyayangkan pemerintah tidak mengajak bicara masyarakat sebelum melangkah. Sosialisasi kepada warga dilakukan setelah kesepakatan dengan investor dilakukan. ”Kami tidak mau direlokasi. Apa pun yang dijanjikan, kami tidak mau. Kami tidak mau dipisahkan dari kehidupan kami,” kata Eli.

Demi pembangunan

Gubernur Sulawesi Barat Anwar Adnan Saleh, yang ditemui di Jakarta pertengahan Agustus, yakin pembangunan PLTA bisa terwujud. Pemerintah Provinsi Sulbar telah menggandeng badan usaha milik China, China Gezhouba Group Corporation (CGGC), untuk membangun PLTA Karama.

Sejauh ini CGGC telah selesai membuat studi kelayakan. Hasilnya, PLTA Karama dianggap layak dibangun dengan nilai investasi Rp 13 triliun. Proses pembangunan direncanakan sekitar 7-8 tahun. Untuk tahap pertama diproyeksikan akan menghasilkan listrik 450 MW.

Dam direncanakan seluas 12.000 hektar. Implikasinya, enam desa di Kecamatan Kalumpang, sembilan desa di Kecamatan Bonehau, dan dua desa di Kecamatan Mamasa yang dihuni sekitar 15.000 jiwa akan ditenggelamkan. Termasuk di dalamnya situs Kalumpang.

”Karena itu saya mengundang Universitas Hasanuddin untuk melakukan kajian akademis. Apakah ini merugikan atau menguntungkan masyarakat,” kata Anwar.

Dari berbagai kajian, menurut Anwar, relokasi dengan konsep membangun kota baru dianggap sebagai yang terbaik. Lokasi relokasi tak jauh dari dam. Museum purbakala juga akan dibangun di sana guna menampung benda-benda purbakala di situs Kalumpang. Investor diminta menanggung. ”Kami tidak akan menyengsarakan masyarakat. Justru kami mengangkat kehidupan mereka dengan infrastruktur dan permukiman lebih baik,” katanya.

PLTA Karama, menurut Anwar, tidak hanya memenuhi kebutuhan di Provinsi Sulbar, tapi juga untuk enam provinsi di Sulawesi. Kebutuhan Sulbar saat ini tak sampai 50 MW.

”Pemprov Sulbar hanya sebagai inisiator karena yang punya daerah. Karena ini kebutuhan nasional, kerja sama dengan China sifatnya government to government. Sudah ada persetujuan antara lain dari Kementerian ESDM dan Bappenas,” kata Anwar.

Bersejarah

Pembangunan ini bukan sekadar memindahkan warga, tetapi juga menggusur situs purbakala penting. Beberapa peninggalan itu di antaranya situs Minanga Sipakko dan situs Kamasi. Keduanya biasa disebut Situs Kalumpang. Situs-situs itu merupakan peninggalan manusia Austronesia yang dianggap tertua di Nusantara. Total ada 12 situs di kawasan ini.

Rustan, arkeolog dari Balai Pelestarian Cagar Budaya Makassar, mengatakan, situs Kalumpang adalah satu-satunya bukti yang meyakinkan di Sulawesi tentang kedatangan pertama bangsa Austronesia dari Asia daratan. ”Posisi Kalumpang menurut para ahli menjadi titik lompatan bangsa Austronesia ke daerah lain di Nusantara,” kata Rustan.

Bangsa Austronesia, menurut Rustan, dianggap bangsa yang menurunkan populasi di sepanjang Pasifik sampai Madagaskar dan sepanjang Selandia Baru sampai Hawaii, minus Papua dan Australia. Austronesia merupakan bangsa besar dengan penutur bahasa sampai 300 juta orang.

Teori migrasi yang paling populer menyebutkan, bangsa Austronesia meninggalkan Asia daratan menuju Nusantara dan Pasifik melalui Taiwan, Filipina, dan Sulawesi. Dari Sulawesi, mereka menyebar ke Kalimantan dan beberapa daerah lain. Keberadaan situs Kalumpang sangat berarti untuk keberlanjutan penelitian sejarah populasi dan migrasi manusia di Nusantara dan Pasifik.

”Kita punya tanggung jawab bersama untuk mempertahankan situs Kalumpang. Bukan berarti bahwa kita harus mengabaikan PLTA untuk situs itu. Bukan juga demi PLTA kita harus mengabaikan situs-situs yang berarti melupakan sejarah kita,” kata Rustan. ”Perlu ada pembicaraan serius antara arkeolog dan pemda serta pengusaha.”

Persoalannya, Tim Kajian PLTA dari Universitas Hasanuddin tidak melibatkan arkeolog. Sejumlah pihak, mulai dari peneliti, Jurusan Arkeologi Universitas Hasanuddin, sampai Balai Pelestarian Cagar Budaya Makassar sudah mengirimkan surat ke Pemprov Sulbar untuk meminta klarifikasi. Namun, sejauh ini belum ditanggapi.

0 komentar