Kamis, 01 Desember 2011

CINTA DALAM SEPOTONG TRIBUN GELORA BUNG KARNO

Dengan langkah tergesa-gesa, aku berjalan menyusuri bagian luar Stadion Utama Gelora Bung Karno. Masih terdengar suara nyaring klakson mobil yang beradu merdu dengan klakson sepeda motor, mereka saling berteriak nyaring, mereka saling memperingatkan. Selain suara klakson yang menderu itu, ditambah lagi suara pedagang yang menjajakan dagangannya. Mereka sangat ahli mempromosikan jersey-jersey menarik yang sedikit menggoda mataku untuk meliriknya. Orang sepertiku yang sangat gila bola, selalu tergiur melihat merchandise menggemaskan yang terpampang tepat di depan mataku. Ah, tapi aku tak boleh tergoda! Daripada harus berdesak-desakan memasuki pintu stadion, lebih baik aku mempercepat langkahku, agar aku segera duduk nyaman sembari menunggu pertandingan dimulai.
Pukul 18:00, stadion telah ramai oleh pendukung Indonesia yang mengenakan berbagai macam atribut. Ada yang mencoreng wajahnya, ada yang dengan semangat mengenakan jersey Indonesia, ada yang siap dengan terompet dan perkusi lainnya, dan ada pula yang biasa-biasa saja, sosok seperti inilah yang selalu berteriak hanya dalam hati saat pemain Indonesia penuh peluh dan keringat di tubuhnya, untuk berjuang dan memenangkan pertandingan. Sementara aku, sederhana saja. Aku mengenakan jersey Indonesia, kamera digital di tangan kanan dan blackberry di tangan kiri, semua barang berharga sengaja kutinggalkan di mobil. Aku masih menunggu dengan sabar, melihat pemain Indonesia berlaga dengan skill mereka.
***
Pukul 19:00, kulihat dari kejauhan tim official pertandingan telah bersibuk-sibuk ria dengan persiapan sebelum pertandingan. Bendera fairplay dibawa ke dalam lapangan, diikuti oleh para pemain Indonesia dan LA Galaxy, dengan wajah mereka yang ramah, mereka menyambut suara tepuk tangan dari ribuan penonton Stadion Utama Gelora Bung Karno. Terbesit rasa kelegaan dan kepuasan dari para penonton, hal yang mereka tunggu-tunggu tiba, perjuangan mereka tak sia-sia. Peluit wasit melengking dan pertandingan dimulai!
Sang kulit bundar dipermainkan begitu saja oleh pemain-pemain ahli yang berlaga di lapangan hijau, dia pasrah pada keadaan, dia terima apapun yang dilakukan para pemain selama pertandingan. Digiring kesana kemari, ditendang dari ujung ke ujung, sementara suara riuh di stadion semakin membakar semangat para pemain. Inilah yang disebut dengan indah, saat semua orang bisa bersatu dan melupakan perbedaan. Mereka lupakan warna atribut tim lokal mereka, mereka lupakan yel-yel yang sering mereka nyanyikan saat menyemangati tim lokal mereka, kini mereka satu! Rasa kebersamaan mereka semakin terasa ketika lagu kebangsaan Indonesia Raya dikumandangkan, ada berbagai macam suara, tua muda ikut bersorak, suara alto hingga sopran menggelegar, suara bass hingga tenor saling bersautan, seindah gerak harmonik sempurna tanpa gaya pemulih.
***
Berkali-kali aku bersorak-sorai, berkali-kali juga aku terduduk menahan rasa kekecewaan, Indonesia banyak peluang tapi tak memaksimalkan. Aku benci kalau ujung-ujungnya harus menyalahkan Dewi Fortuna, aku benci kalau akhirnya ada issue yang mengatakan bahwa yang menang haruslah tim tamu. Setelah kuamati tak ada lagi penyerangan dari Indonesia, aku hanya membiarkan tubuhku tersandar di tempat duduk. Aku iseng memotret-motret penonton. Saat aku sedang iseng memotret para penonton di bagian kananku, kulihat seorang wanita yang masih bersemangat menyemangati pemain Indonesia. Peluhnya yang mulai membasahi keningnya tak menghalangi dia untuk tetap optimis bahwa Indonesia akan memenangkan pertandingan. Setelah kuamati dari jauh, sepertinya aku mengenal wanita itu. Kutekan tombol zoom in pada kameraku, ya ternyata aku mengenalnya! Nita! Temanku sewaktu SMA dulu, atau kusebutkan lebih spesifik lagi. Nita! Cinta pertamaku! Wajahnya kini berbeda, rambutnya yang menjuntai mayang hingga sebahu, hidungnya yang masih saja agak pesek, dan matanya yang masih saja bulat, mata yang selalu kunikmati sinarnya sewaktu dulu, semasa SMA.
Selama pertandingan, aku sama sekali tak memperhatikan pemain Indonesia dan sang bintang David Beckham. Padahal, tiket semahal ini sengaja kubeli hanya untuk melihat sosok sang bintang itu. Ah, siapa peduli? Aku lebih suka menikmati wajahnya yang kini berada di depan mataku walau berjarak beberapa meter dari tempat dudukku. Nita, ah 11 tahun yang lalu senyumnnya masih bisa kunikmati dengan bebas, bayangnya masih bisa kureka-reka setiap harinya. Kali ini, aku merasa sengaja dilemparkan waktu untuk kembali ke masa lalu, masa dimana cinta masih begitu tulus dan tanpa tuntutan, masa saat cinta tak butuh pengungkapkan tapi cukup dengan tindakan, bukan sekedar perkataan!
Aku menunggu peluit wasit yang menandakan pertandingan telah usai agar segera dibunyikan. Aku ingin menyapa Nita! Aku ingin menemui dia! Aku ingin bertanya tentang kabarnya! Oh, tolonglah aku Tuhan, beri waktuMu untukku, hanya untuk melihat senyumnya lagi, hanya untuk mengingatkan padanya bahwa aku pernah hidup, walau aku hanya hidup dimasa lalunya.
Kenangan cinta pertama memang sulit untuk dilupakan, karena itulah saat cinta benar-benar menemukan ketulusannya, saat cinta menjelma menjadi bagian yang membawa energi positif bagi seseorang. Sayangnya, tak semua cinta pertama akan berakhir bahagia. Ada yang memendamnya diam-diam, ada juga yang menahan malu hanya untuk mengatakan perasaannya. Dan aku adalah jenis orang yang pertama, yang hanya mampu memendam dan berdiam.
***
Peluit pertandingan telah berbunyi dengan nyaring, aku bergegas meninggalkan tempat itu, kulihat sosok Nita juga mulai bersiap-siap meninggalkan tempat duduknya. Dalam ketergesa-gesaan, aku menerobos penonton yang masih sibuk membicarakan hasil pertandingan yang tidak begitu memuaskan. Sepertinya Nita benar-benar tak menyadari kehadiranku, dia terlalu serius menyaksikan pertandingan yang mungkin menurutnya sangat seru. Entahlah, aku tak tahu apakah pertandingan itu seru atau tidak seru, karena bagiku “pemain” utamanya adalah Nita, cinta pertamaku, dan itu adalah bagian terseru!
Kini, Nita telah berada di depanku, aku mengendap-endap mengikuti langkahnya, agar dia tak merasa curiga pada seseorang yang berjalan di belakangnya. Dia berjalan menuju toilet pria, lalu dia bersandar di dinding samping pintu toilet pria. Dia sibuk menghapus peluh yang membasahi kening dan pipinya, aku yang bergabung dengan kerumunan penonton yang menuju pintu keluar sama sekali tak tersentuh oleh tatapan matanya. Kuberanikan diri untuk mendekatinya. Langkahku mantap, jantungku berdetak dengan hebat.
“Hey, Nit!” Ucapku malu-malu, aku mencolek bahunya.
Dia menoleh, memperhatikan wajahku dan sorot mataku, “Eh, Kevin. Lho kamu disini?” Jawabnya dengan pertanyaan balik, dia mengingatku! Dia masih mengingat namaku!
“Iya, tadi gue nonton tapi enggak terlalu fokus.”
“Lho, kenapa?”
“Tadi, gue lihat elo di dekat bangku gue sebelah kanan, tapi kayaknya elo enggak lihat gue.”
“Oh ya? Wah, segitunya.”
“Jujur, gue kangen sama elo. Udah sebelas tahun ya? Lama juga.” Seraya menundukan kepala, kuucapkan kata-kata yang belum disaring diotakku.
“Gue juga kangen, tapi itu masa lalu, semua udah berubah, Vin. Elo masih sendiri?”
“Iya, dan elo? Masih sendiri juga?” tanyaku dengan wajah penasaran, kami saling bertatapan.
Tiba-tiba, seorang pria keluar dari toilet, menarik tangan Nita dengan kasar, “Sayang, lama ya nuggunya? Balik yuk!” Ucap pria itu dengan suara yang sengaja dilembut-lembutkan. Kulihat ada cincin berbentuk sama yang terpasang di jemari Nita dan pria itu, aku hanya memasang senyum miris.
Dengan langkah terpaksa, Nita meninggalkanku, diam-diam dia menyelipkan kartu namanya di jemariku. Aku kembali memasang senyum miris. Dia hanya meliukan kepalanya untuk menatapku yang ada di belakangnya, tangan kanannya digenggam secara paksa oleh pria itu, sementara tangan kirinya memberi isyarat “Call me!”
Sama seperti 11 tahun yang lalu, dia meninggalkanku tanpa isyarat. Tapi, kali ini, saat kita bertemu, dia berikan isyarat, dia kembali menanamkan arti baru. Ah, cinta pertama, serumit itukah kamu?

by    : Dwitasari
post : http://fiksi.kompasiana.com/cerpen/2011/11/30/

0 komentar