Minggu, 25 Maret 2012

Mewaspadai Hadis Palsu

Melacak Sejarah Munculnya Hadis-hadis Palsu (Bag 1)
REPUBLIKA.CO.ID, Menurut ahli hadis, Subulus Shaleh, pemalsuan hadis terjadi  mulai tahun 41 H.

Secara bahasa, hadis berarti baru, tak lama, ucapan, pembicaraan, cerita. Menurut para pakar hadis, hadis berarti segala ucapan, perbuatan, dan keadaan Nabi Muhammad SAW atau segala berita yang bersumber dari Nabi SAW berupa ucapan, perbuatan, takrir (peneguhan kebenaran dengan alasan), serta deskripsi sifat-sifat Nabi SAW.

‘’Segala perkataan, perbuatan, dan takrir Nabi SAW yang bersangkut paut dengan hukum,’’ demikianlah para ahli usul fikih mendefinisikan hadis.  Lalu apakah semua hadis yang ada di tengah-tengah umat Islam, saat ini,  benar-benar berasal dari Rasulullah SAW?  Ternyata sebagian hadis yang biasa digunakan sebagai dasar pijakan dan dalil termasuk hadis lemah dan palsu.

‘’Telitilah kembali setiap hadis yang dinisbatkan kepada Rasulullah SAW. Jangan asal riwayat Bukhari, lalu dikatakan sahih,’’ ujar guru besar IAIN Walisongo Semarang, Prof H Muhibbin. Berdasarkan penelitiannya,  dalam kitab Jami’ al-Shahih – salah satu kitab hadis terbaik – pun terdapat hadis-hadis lemah dan palsu.

Dari segi sanad (jalan yang menyampaikan kita kepada matan hadis atau rentetan para rawi yang menyampaikan matan hadis), hadis dikategorikan menjadi tiga macam, yakni hadis sahih, hasan, dan dhaif.  Yang dimaksud dengan hadis lemah adalah hadis dhaif.  Selain itu, ada pula hadis palsu, yakni dikenal dengan hadis maudu’.

Menurut Ensiklopedi Islam, hadis maudu’  adalah sesuatu yang dinisbahkan kepada Nabi SAW, tetapi sesungguhnya itu bukanlah perkataan, perbuatan, atau takrir Nabi SAW.  Lalu sejak kapan muncul hadis palsu di tengah-tengah umat Islam?  Mengenai awal mula munculnya hadis palsu terdapat beberapa pendapat di kalangan para ahli hadis.

Ada yang berpendapat bahwa hadis palsu yang beredar di tengah-tengah umat Islam sudah muncul sejak masa Rasulullah SAW. Salah seorang ahli hadis yang berpendapat seperti itu adalah Ahmad Amin dalam  Fajrul Islam. Namun, mayoritas ahli hadis berpendapat bahwa hadis palsu mulai bermunculan di era kepemimpinan Khalifah Ali bin Abi Thalib.

Inilah Ciri-ciri Hadis Palsu

Maudhu’  atau palsu berasal dari kata ata wadha’a – yadha’u – wadh’an wa maudhu’an yang berarti merendahkan, menjatuhkan, mengada-ngada,  menyandarkan atau menempelkan, serta menghinakan. Maka, hadis maudhu’  itu memiliki makna, rendah dalam kedudukannya, jatuh  tidak bisa diambil dasar hukum, diada-adakan oleh perawinya, serta disandarkan pada Nabi SAW, sedangkan beliau tidak mengatakannya.

Para ulama hadis mendefinisikan hadis palsu  sebagai apa-apa yang tidak pernah keluar dari Nabi SAW baik dalam bentuk perkataan, perbuatan ataupun taqrir, tetapi disandarkan kepada Rasulullah SAW secara sengaja. Menurut Ensiklopedi Islam, hadis maudu’  memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

Pertama, matan (teks) hadis tak sesuai dengan kefasihan bahasa, kebaikan, kelayakan, dan kesopanan bahasa Nabi SAW. Kedua, bertentangan dengan Alquran, akal, dan kenyataan. Ketiga, rawinya dikenal sebagai pendusta, Keempat, pengakuan sendiri dari pembuat hadis palsu tersebut. Kelima ada petunjuk bahwa di antara perawinya ada yang berdusta. Keenam, rawi menyangkal dirinya pernah memberi riwayat kepada orang yang membuat hadis palsu tersebut.

Menurut ahli Ilmu Hadis, Prof KH Mustafa Ali Ya’kub, sebuah hadis dikatakan palsu apabila, dalam sanad-nya terdapat rawi (periwayat), yang dengan terus terang dia mengaku memalsu hadis. ‘’Maka hadisnya menjadi palsu,’’ tutur guru besar Ilmu Hadis pada Institut Ilmu Alquran (IIQ) Jakarta itu.

Selain itu, kata dia, jika perawinya pun berdusta, tapi tidak diketahui ketika menyampaikan hadisnya apakah palsu atau tidakm, namun jelas dia pembohong. Maka, menjadi hadis makruh  atau semipalsu. ‘’Kedudukan dan kualitasnya sama, yakni harus dibuang.’’

Hadis palsu dibagi menjadi tiga macam. Pertama, perkataan itu berasal dari pemalsu yang disandarkan pada Rasulullah SAW. Kedua, perkataan itu dari ahli hikmah atau orang zuhud atau israiliyyat dan pemalsu yang menjadikannya hadis. Ketiga, perkataan yang tidak diinginkan rawi pemalsuannya, cuma dia keliru. Menurut para ahli hadis, jenis ketiga itupun termasuk hadis maudhu, apabila perawi mengetahuinya tapi membiarkannya.
Menurut Manna’ Al-Qathan dalam Mabahis Fi Ulumil  Hadits, Hadis maudhu’  adalah yang paling buruk dan jelek di antara hadis-hadis dhaif (lemah) lainnya. Ia menjadi bagian tersendiri di antara pembagian hadis oleh para ulama yang terdiri dari shahih, hasan, dhaif dan maudhu’. ‘’Maka maudhu’ menjadi satu bagian tersendiri,’’ ungkap  Al-Qathan.

Lalu, bagaimana jika umat Islam menggunakan hadis palsu?  Menurut KH Ali Ya’kub, hadis palsu sama sekali tak boleh digunakan. Bebeda dengan hadis dhaif (lemah) yang masih bisa digunakan. Namun, kata dia, tak semua hadis dhaif bisa digunakan.

‘’Hadis dhaif bisa digunakan, kalau dhaif-nya tidak terlalu parah. Yang parah itu, misalnya, hadis palsu, hadis makruh, dan hadis munkar. Hadis munkar itu periwayatnya pelaku maksiat,’’ tutur Kiai Ali Ya’kub.

Sejatinya, kata dia, hadis palsu itu merupakan bagian dari hadis dhaif.  Hadis palsu adalah hadis dhaif yang paling parah. Guna memahami sebuah hadis itu palsu atau tidak, umat Islam bisa mendeteksinya dengan tiga cara. Pertama, tutur Kiai Ali Ya’kub,  dengan metode pemahaman tekstual dan kontekstual.

Kedua, dengan menggabungkan riwayat-riwayat yang lain. Dan, ketiga, melalui metode kontroversialitas hadis, misalnya. ‘’Yang tekstual dan kontekstual, misalnya, tentang fatwa nabi apakah pakaian nabi itu kita diharuskan mengikuti seperti itu termasuk sorban, misalnya. Orang yang memahami secara tekstual, apa yang dipakai oleh nabi ya harus kita ikuti. Tapi, yang kontekstual tidak karena itu budaya Arab,’’ ungkap Imam Besar Masjid Istiqlal itu.

0 komentar