Selasa, 24 Januari 2012

Fenomena yang Tercatat Dalam Sejarah Musik Digital

Tidak sulit membuktikan, musik Indonesia sejak lama menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Simak saja di acara-acara televisi dan dengarkanlah radio. Kebanyakan musik yang ditampilkan adalah musik-musik hasil karya anak bangsa. Di Indonesia, musik lokal lebih digemari dibandingkan musik mancanegara. Bahkan musik hasil karya anak bangsa menemukan penggemarnya hingga ke negara-negara tetangga, seperti Malaysia dan Singapura. Jelas kita patut berbangga akan hal ini.

Perkembangan warna dan kualitas musik di Tanah Air tidak dapat dilepaskan dari perkembangan industri musik. Industri musik terus menggelinding bertransformasi mengikuti kemajuan teknologi. Mulai dari piringan hitam, kaset, compact disk (CD), kini dunia musik tengah berada dalam era digital. Era digital tidak hanya mengubah format produk, tetapi juga mengubah seluruh tatanan infrastruktur hingga pada model bisnis industri musik. Dengan dimulainya era musik digital berarti menandai berakhirnya masa keemasan penjualan album fisik di Indonesia


Pada era digital, seorang penikmat musik tidak perlu lagi membeli sebuah kaset atau CD berisi seluruh album musik, tetapi cukup lagu yang diinginkannya saja. Ibarat buku, seseorang hanya membeli bab perbab, bukan buku secara keseluruhan. Untuk berjualan musik, seorang pengusaha tidak perlu lagi rak-rak besar untuk menyimpan kaset dan CD, tetapi cukup berjualan via websitesatau blog di internet. Persebaran dan perpindahan sebuah konten musik tidak dapat dibendung dan dihalang-halangi lagi oleh batas-batas geografis ketika telah dicemplungkan ke internet. Konten musik digital yang diupload di Jakarta seketika itu pula dapat langsung dinikmati, didownload, dan dibeli oleh orang di Kairo atau Washington.

Akan tetapi, era baru tidak hanya menawarkan harapan semata, jika pembajakan atau pecuri lagu dengan penyakit musiknya masih terus membajak, sebenarnta tidak ada pihak yang diuntungkan, lah pembajak juga mendapatkan virus tanpa sepengetahuan. Bahkan, situs yang memuat konten musik digital tidak mendapatkan keuntungan dari aktivitasnya tersebut. Era digital mengakibatkan peredaran musik illegal lebih massif dan tidak terkendali, serta aktor yang tidak dikenali dan tidak terhitung jumlahnya. Kini, peluang besar industri musik pada era digital berubah bagi industri musik itu sendiri secara bisnis dan semuanya terkembalikan kepada industri musik bagaimana mensikapi dan mensiasatinya

Revolusi audio digital pada awal 1980-an telah mengubah drastis industri musik. Saat ini kebanyakan bunyi-bunyi rekaman yang kita dengar telah berubah menjadi bit-bit elektronik. Mereka berseliweran di dunia maya dan siap diunduh – baik legal maupun ilegal – dengan cepat.

Berikut ini adalah beberapa fenomena yang tercatat dalam sejarah musik digital. Apakah mereka menghancurkan industri musik? Atau justru menyelamatkan?





1. MP3

Karlheinz Brandenburg dkk. telah mengubah industri musik dengan sistem kompresi audio yang mereka kerjakan, MPEG Audio Layer 3 (atau lebih akrab disebut MP3). File musik menjadi amat berukuran langsing dan akrab dengan banyak pemutar musik. Namun karena ini pulalah, karya musik jadi lebih rawan dibajak dan dipertukarkan tanpa izin.

2. Napster


Ketika pertama kali dirilis tahun 1999, aplikasi Napster belum banyak dilirik orang. Namun setelah digugat industri musik karena dianggap melanggar hak cipta, barulah Napster populer. Melanjutkan kehebatan MP3, Napster memungkinkan orang bertukar berkas secara gratis melalui Internet.

3. iTunes


Pemutar musik karya Apple yang diberi nama iTunes berhasil tampil sebagai platform mendapatkan musik digital secara legal (dan membayar). Di satu sisi, pembajakan di Internet bisa ditekan. Tapi di sisi lain, industri musik merana karena konsumen pelan-pelan melupakan album fisik.

International Federation of the Phonographic Industry (IFPI), federasi yang menaungi industri rekaman dunia, melaporkan penjualan rekaman musik terjun bebas dari sekitar $ 26 miliar (2000) menjadi hanya $16 miliar (2010).

4. RBT


Sering juga disebut “caller tunes”, fasilitas ini juga cukup populer di banyak negara. Dengan fasilitas ini para pelanggan dapat mendengar karya musik atau suara tertentu untuk menggantikan nada sambung biasa. 

Bagi pengguna layanan seluler di Indonesia, RBT sudah tak asing lagi. Saking ngetopnya, RBT di Indonesia bisa memberikan pemasukan hingga 90 persen kepada industri musik. Tak heran ketika RBT hendak dihapus menyusul kasus sedot pulsa, banyak artis yang protes sebab pendapatan mereka sangat tergantung pada penjualan RBT. Terlihat jelas, album fisik mulai dikesampingkan oleh artis dan industri musik kita.

5. Cloud di Google Music dan Amazon

Bayangkan file musik yang Anda punya bisa diakses kapan dan di mana saja via Internet. Inilah basis layanan “cloud” yang diberikan Google Music dan Amazon. Kita menyimpan koleksi musik kita dengan rapi di cloud, dan mendengarkannya lewat aplikasi yang tertanam di komputer atau gadget kita.

Cloud juga melayani pembelian legal untuk karya-karya musik yang jumlahnya sangat banyak. Pasar musik online global sekitar 500 juta orang memang menjadi sasaran utama layanan ini.

6. Spotify

Layanan ini tak jauh berbeda dengan cloud, hanya saja ia lebih menyatu dengan media sosial. Keunggulan Spotify yang utama (mungkin) adalah perkongsiannya dengan Facebook. 

Dengan integrasi media sosial ini, Spotify berharap bisa menjadi platform berbagi informasi tentang musik. Menurut kabar, Spotify juga menekankan pada model “playlist” yang bisa diakses di mana pun via Internet—dan dengan model langganan yang lebih fleksibel. 

Beli album musik atau single baru pun tak masalah, karena sudah banyak label yang bergabung dalam platform ini. Kabarnya kita bisa berlangganan lagu atau playlist per bulan. Sayangnya, belum tersedia di Indonesia.



sumber :
http://id.omg.yahoo.com/blogs/mohammed-ikhwan/penghancur-atau-penyelamat-industri-musik-.html

0 komentar