Sabtu, 24 Maret 2012

Epistimologi Makrifat

Epistimologi Makrifat (1)

Oleh: Prof Dr Nasaruddin Umar

Pengetahuan yang diperoleh melalui olah nalar disebut dengan ilmu (‘ilm) dan pengetahuan yang diperoleh melalui olah batin disebut makrifat (ma’rifah).

Secara kebahasaan kata ‘ilm berasal dari akar kata alima ya’lamu yang berarti mengetahui, seakar kata dengan ‘alam berarti tanda, petunjuk, bendera; ‘alamah berarti alamat atau suatu tanda yang melalui dirinya dapat diketahui sesuatu yang lain (ma bihi ya’lamu al-syai).

Alam adalah tanda menunjuk kepada (adanya) Allah SWT. Alam juga sekaligus memberikan kesadaran dan pengetahuan tentang Allah SWT. Dari segi kebahasaan dapat ditangkap makna ‘ilm dan ‘alam memiliki konotasi fisik dan mekanik (hushuli).

Sedangkan makrifah berasal dari kata ‘arafa yurif memiliki berbagai makna yang lahir dari padanya, antara lain mengetahui dan mengenal lebih dalam (i’rfah), pengakuan dosa (i’tiraf), wuquf di Arafah (‘arrafah al-hujjaj), padang Arafah (‘arafat), tempat antara surga dan neraka (a’raf), bersetubuh (‘arafah al-ma’ah), saling mengenal satu sama lain (ta’aruf), warisan tradisi lama yang positif (‘urf), terkenal, masyhur (ma’ruf), ilmu pengetahuan luas (ma’arif), dan pengetahuan yang mendalam dan komperhensif (‘irfan, ma’rifah). Dari segi kebahasaan dapat difahami makna ma’rifah memiliki konotasi lebih tinggi dan agung (hudhuri).

Dengan perbedaan tersebut maka dengan sendirinya antara ilmu dan makrifat memiliki ontologi, epistimologi, dan aksiologi yang berbeda satu sama lain. Perbedaan ini bisa difahami melalui perbedaan antara ilmu-ilmu hushuli dan ilmu-ilmu hudhuri.

Secara ontologi, ilmu (‘ilm) masih lebih banyak berkutat pada wilayah logika manusia. Referensi yang digunakan untuk memahami ilmu juga masih bersifat fisik dan visual, meskipun dalam tingkatannya yang lebih tinggi—khususnya dalam level filsafat makna—sudah ada yang mulai bertumpang tindih dengan level awal ontologi makrifah.

Ontologi makrifat, sebagaimana arti dasarnya lebih mengacu kepada wilayah-wilayah yang dapat dikatakan asing (unknown) bagi para ahli ilmu pengetahuan (saintis).

Meskipun demikian, sesungguhnya para saintis tidak bisa serta merta menafikan keberadaan ontologi keilmuan makrifat karena secara de facto banyak peristiwa yang diungkap oleh pengetahuan makrifat sulit dibantah oleh para saintis.

Sebutlah contoh tentang efek keberadaan Tuhan yang dulu dinafikan oleh para saintis positifisme, tetapi di dalam era post-modernisme mulai diberi ruang. Terakhir para saintis dalam era New Age tidak bisa menyembunyikan adanya Godspot di dalam diri manusia. Kini para ilmuwan modern, sesekuler apa pun mereka, tidak dapat lagi terus menerus “menyerang” kaum agamawan (baca: agnostic) karena mereka sendiri meragukan dirinya sendiri.
Bahkan di negara-negara maju sekarang sudah mulai demam kajian spiritual. Kabbalah (mistisisme Yahudi) yang dulu diharamkan oleh para Rabbi karena dianggap bid’ah kini laksana cendawan tumbuh di mana-mana.

Di New York, tepatnya The Manhattan Center yang terletak di 155 E/84 St, di jantung kota NY berdiri tegak Kabbalah Center. Jauh sebelumnya, Karen Berg pernah mendirikan The National Research Institute of Kabbalah di Los Angeles, yang sampai sekarang ramai dikujungi artis Hollywood dan ilmuwan Yahudi di sana.

Di Eropa dan Amerika Latin juga demikian halnya. Lembaga-lembaga meditasi bahkan sudah dibuka di sejumlah universitas terkemuka. Buku-buku New Age pernah mendominasi sejumlah toko buku di Amerika dan Eropa.

Pusat-pusat sufi akhir-akhir ini mungkin lebih ramai di Barat daripada di Timur. The Beshara School, sebuah lembaga spiritual yang bertaraf internasional sudah mulai go-public merambah hampir di seluruh negara. Ibn ‘Arabi Society yang anggotanya semakin besar sebagaimana dapat dilihat di situsnya. Pengikut Kabbani dan Bawa Muhaiyaddeen di AS juga semakin ramai dikunjungi pengikut. Di antara mereka bukan orang awam tetapi sangat terdidik dan pejabat.

Meningkatnya gerakan sufisme di berbagai tempat menandakan adanya ketidakpuasan manusia terhadap capaian ilmu pengetahuan selama ini. Paling tidak kehausan intelektualitas manusia ternyata tidak mampu dipuaskan oleh ilmu pengetahuan (‘ilm). Manusia menginginkan lebih dari sekedar ilmu yang hanya mampu memberikan kepuasan logika. Kepuasan sejati hanya dapat dirasakan manakala menyentuh aspek hakiki dari manusia yang namanya kepuasan batin. Justru kepuasan batin inilah yang kemudian mendatangkan kesadaran kemanusiaan yang lebih tinggi.

Untuk bisa sampai pada tingkat kepuasan batin ini, dibutuhkan pengetahuan tingkat tinggi yang biasa disebut dengan makrifat yang sesekali disebut irfan atau dalam istilah tasawuf biasa disebut dengan mukasyafah. Mukasyafah berarti penyingkapan tabir-tabir (hijab) yang selama ini menghijab manusia untuk mengakses sebuah dunia yang agung, di mana manusia bisa meraih kepuasan yang luar biasa.

Epistimologi makrifat lebih dari sekedar menempuh epistimologi keilmuan biasa. Persyaratan yang harus ada di dalam menggapai tingkat makrifat Al-Qusyairi ialah penyucian dari dari berbagai dosa dan maksiat, bersih dari urusan dan ketergantungan dunia, terus menerus bermunajat di hadapan Allah dengan cara sirri, selalu memelihara kelembutan jiwa dan budi pekerti, dan penuh pengendalian dan mawas diri.

Bagi orang yang mencapai tingkat mukasyafah (penyingkapan) maka ia akan berada pada tingkat musyahadah (penyaksian kepada zat Yang Maha Mulia). Dalam keadaan seperti ini manusia bisa memperoleh kepuasan intelektual hakiki yang tak terlukiskan.

Rawaim Ibnu Ahmad pernah menggambarkan orang yang mencapai tingkat makrifat bagaikan seorang menyaksikan cermin. Jika ia melihat cermin itu maka akan tampak jelas Tuhannya.

Dzun Nun Al-Mishri melukiskan orang-orang yang bergaul dengan penerima makrifat seperti orang-orang yang bergaul dengan Allah SWT.

Kata Al-Hallaj, “Jika seorang hamba telah sampai kepada makrifatullah, maka Allah akan membisikkan kepadanya dengan melalui hatinya dan menjaga hatinya dari kata hati yang tidak benar.”

Abu Yazid Al-Busthami pernah ditanya perihal orang yang mencapai makrifat, ia menjawab, "Orang arif adalah penerbang dan orang zuhud itu pejalan kaki."

Selanjutnya ia menambahkan, “Ketika ia tidur ia tidak melihat selain Allah, ketika ia terjaga ia tidak melihat selain Allah, ia tidak beribadah selain kepada Allah."

Untuk urusan lebih teknik dalam memperoleh makrifat, Ahmad Ibn Atha berkomentar, “Makrifat itu memiliki tiga rukun; takut kepada Allah, malu kepada Allah, dan senang kepada Allah.”

Jadi, memang tidak gampang mencari dan menemukan makrifat. Hampir seluruh ulama sepakat bahwa cara untuk meraih sukses mencapai makrifat ialah kebersihan batin. Untuk itu, penyucian jiwa (tadzkiyah an-nafs) dan keindahan batin (tanwir al-qulub) serta niat yang tulus merupakan persyaratan mutlak yang harus diwujudkan di dalam diri murid.

Pada dasarnya, manusia itu memiliki kemampuan dan kecerdasan, bahkan makrifat. Hanya mereka terkontaminasi oleh lingkungan sosial, sehingga mereka perlu berdzikir (mengingat kembali). Ayat yang sering dilibatkan kelompok ini antara lain fas’alu ahl al-dzikr inkuntum la ta’lamun (Bertanyalah kalian kepada ahli dzikir jika kalian tidak tahu), Afala tatadzakkarun (Mengapa kalian tidak mengingat kembali?), dan Aqim al-shala li dzikri (Dirikanlah shalat untuk mengingat Aku). Kelompok ini mengedepankan penyucian diri dalam bentuk tadzkirah, tashawwuf, tashwir, tadzkiyah untuk menjernihkan kembali pengetahuan inti yang pernah dibekalinya sejak lahir.

Menuntut ilmu-ilmu makrifat juga diperlukan kesantunan kepada guru (mursyid), sebagaimana dapat dilihat di lembaga-lembaga spiritual, termasuk dalam tradisi pondok pesantren. Ketawadhuan seorang murid dan kesantunan seorang guru atau kiai, adanya tradisi keluhuran dalam proses pencarian ilmu pengetahuan. Ini sejalan dengan ayat “Sebagaimana (Kami telah menyempurnakan nikmat Kami kepadamu) Kami telah mengutus kepadamu Rasul di antara kamu yang membacakan ayat-ayat Kami kepada kamu dan menyucikan kamu dan mengajarkan kepadamu Al-Kitab dan Al-Hikmah (As-Sunah), serta mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui.” (QS Al-Baqarah: 151).

Perhatikan ayat di atas, Allah SWT mengedepankan proses penyucian diri (tadzkiyah al-nafs) baru proses pendidikan (ta’lim). Itulah sebabnya ilmu-ilmu yang merupakan washilah untuk sampai ke pengetahuan makrifat sebagaimana banyak dipraktikkan di lembaga-lembaga tarekat, seorang murid sangat sayang pada guruhnya.

Mereka terkesan dengan sebuah qaul (pepatah), "al-ustadz amam al-murid ka al-nabiy amam al-shahabah (guru di depan murid bagaikan nabi di depan sahabat)". Perilaku kritis berlebihan dari seorang murid terhadap guru atau mursyidnya tidak pernah terlihat di dalam pengalaman sehari-hari bagi para pencinta makrifat.

0 komentar