Sabtu, 31 Maret 2012

Sajak-sajak Syukur A. Mirhan




MANCING
-melamun di atas jembatan madiun 1,
 
Melempar senar tafakur. Jauh dan dalam
Ke kedung renung. Memancing ilham
Di pucuk malam, luruh serpih perasaan
Hanyut di arus bengawan ketiadaan
 
Jemari dinihari Januari yang tiris
Menyawer embun dan gerimis
Antara garis bentang bantaran
Dan baris bebatu yang menisan
 
Di reriak air detik mengalir
Menyisir tepi-tepi sesunyi
Kali hati pemancing terakhir
Sebelum tanggal denyut nadi
 
Madiun, 2012
 
tiris (Sunda): dingin

YANG MENANGIS OLEH GERIMIS

Yang menangis oleh gerimis hatinya pun ngungun
Menyisiri tepi-tepi sesepian malam-malam alun-alun
Cerlang matanya redup dijalang sorot-sorot lampion
Tasbihnya bulir-bulir embun digugur angin monoton
 
Foto narsis gadis reklame dan senyum Bapak & Ibu walikota
Melahirkan warna senada: Madiun tak berrasa tiada berjiwa
Untung masih ada rasaduka yang mencairkan adipura airmata
Dan serak suara Kaze mengenangkan lirih lirik letih kawih jawa
 
Gerimis mampir dan menyelusup di selonjor kaki ibu pengemis
Di sampingnya seorang bapak --yang tak berkeluarga-- meringis
Menjeritkan batinnya yang sunyi ke julang menara masjid agung
Seakan ingin mengembalikkan nasibnya kepada Yang Maha Agung
 
Sampai pucuk dinihari Februari di alun-alun tinggal tiga hamba
Ibu pengemis dan seorang bapak --yang tak berkeluarga--
Dan yang menangis oleh gerimis yang cuma bisa menitipkan kata
: Allah tidak pernah tidur menunggu seribu satu doa kita!
 
Madiun, 2012

DI SEBUAH LIKU PERTIGAAN TARIKAT

Malam ini puisi merambu-rambu tanda
Di perempatan-perempatan kehidupan
Lampu merahkuninghijau lalulintas tanya
Di antara ketakpastian yang berseliweran


Seorang pejalan tertatih-tatih dalam pencarian
Menyeret-nyeret hati menuju alun-alun tujuan
Tempat kedatangan-keberangkatan diterminalkan
Dan pusat penantian pertemuan tanpa perpisahan


Tak ada yang dikangeninya, kecuali gerimis
Dan embun yang mengilau lampion hias
Mencercah wajah bergores miris
Menembus gelap gang cemas


Sedangkan kelam-kehampaan terus berserikat
Menyandera sekerlip cahaya tiang hakikat
Di sebuah liku pertigaan tarikat
Persimpangan antara tol maksiat

Dan makadam makrifat
Madiun, 2012
*Makadam (Jawa):  jalan batu-batu belum beraspal
MAGETANMU JANUARI, SEPERTI KOTAKU SENJA HARI

Magetanmu Januari, seperti kotaku senja hari
Basah oleh hatimu yang gerimis
Setiap kali menyusun kepingan puisi
Dari kristal-kristal nur tangis


Perasaan yang tercecer
Di emper pagar gedung DPR
Mengentalkan serpihan perih
Yang berserakan di lirik-lirik lirih


Di pelupuk mata dinihari alun-alun yang kuyu
Sehabis menemani wargakota wisata kuliner malam
Tergesa-gesa kautitipkan sekilat tatap sendu
Sebelum rembulan terpelanting dari pelukan palem


Tak kukenal lagi perempatan, terminal, halte, stasiun
Andong, angkot, bus, dan kereta pulang ke kota lama
Bentangan aspal jalanan menghalimun lamun
700 kilometer rel besi meleleh oleh api tresna

Magetan, 2012

DI TENGGARA SUHUNAN KOTA
atawa Sampai Kehidupan Kita Karatan di Pinggiran Rel Kereta,
 
Di tenggara suhunan kota.  Rembulan yang purnama bertahta. Selangkang cahayanya mengangkangi tetaman istana negara. Selendang  bayangnya menggorden pintujendela kebun raya. Dan sepasang rusa menanti buah pelita jatuh dari angkasa

 Itulah latar cinta pertama kita. Dua remaja enam belas tahun yang lahir dari Sepasang Mata Bola di Rayuan Pulau Kelapa. Disusui Kolam Susu. Ditidurkan Nina Bobo.Diasuh Garuda Pancasila. Diayunambing Galang Rambu Anarki. Dimanjakan Hati yang Luka. Dibesarkan Always Somewhere. Di penggalan remang kota yang tubuhnya basah

 Pagar-pagar besi, jeruji, gerbang, tembok, trotoar, gapura, dan tugu yang menggigil dan suara malam tinggal krik cengkrik yang tercekik brangkal galian kabel listrik. Juga matatelinga para penjaga makin waspada mengintai kita. Curiga pada desah napas dan bisik-bisik kita
Namun dini hari masih aman kita lewatkan. Karena kencan kita berasas Pancasila dengan cinta yang tidak pernah subversif kepada negara

 Di tenggara suhunan kota. Sayang kini, rembulan yang purnama entah kemana. Sejak bapak tiri kita, Presiden Indonesia itu, mengundang Paman Sam yang biaya keamanan dan jamuannya bisa untuk membeli kerupuk dan ikan asin tujuh belas turunan. Padahal si Mamang datang bukan mau memberi hati. Tetapi mau mencuri harga diri

 Malam menjadi sedikit seram oleh sisa amukan hujanangin tadi siang dan cerita tukang cat yang tersambar petir ketika mengecat dinding istana negara. Juga oleh kedatangan tentara berseragam dan berpakaian preman yang membuat tukang becak dan tukang ojek di warteg tidak khusyuk menyimak siaran semalam suntuk wayang golek
 
Di tenggara suhunan kota. Rembulan yang purnama bertahta. Selangkang cahayanya mengangkangi tetaman istana negara. Selendang  bayangnya menggorden pintujendela kebun raya. Dan sepasang rusa menanti buah pelita jatuh dari angkasa. Itulah latar cinta pertama kita. Siapa saja tak boleh menghapusnya
 
sampai kehidupan kita karatan di pinggiran rel kereta.

Bogor, 2011
DI STASION BUITENZORG

Hingga aku menjadi tinggal hanya sebulir debu
Pada koper, kresek oleh-oleh, koran bekas, sepatu 
dan pantat celanaku. Dan musim-musim melapuk di keriput waktu. Tak pernah beranjak aku dari bangku tunggu

Tak kuingat lagi ribuan pagi dan senja. Jam berangkat dan jam tiba. Juga geletar rel dan roda besi. Dari selatan dan utara. Kian gemuruh dan riuh. Dari atau ke Jakarta. Kereta demi kereta entah mendekat atau menjauh
Sejak rindumu tanggal dari surat merah jambu. Justru senyum dan lesung pipitmu tumbuh seperti jabotabek. Makin mendekat dan merapat. Bahkan menggeliat-geliat. Membuat gairah cinta awet muda di uzur usia. Meski karenanya kesepian memegapolitan
Sampai tubuh Bogor sudah bau Ibukota. Anak-anak asing kepada hujan petir, angin, dedaunan, dan buah-buahan yang berjatuhan dari pohonan. Tidak seperti gerbong, lori, gembok gudang, plang PJKA, dan gubuk seng kaum urban. Di Stasion Buitenzorg. Sampai 23 lebaran. Seluruh perasaan yang akan kucurahkan 
tak pernah karatan.
Bogor, 2011

DI TENGGARA SUHUNAN KOTA
atawa Sampai Kehidupan Kita Karatan di Pinggiran Rel Kereta,


 Di tenggara suhunan kota.  Rembulan yang purnama bertahta
Selangkang cahayanya mengangkangi tetaman istana negara
Selendang  bayangnya menggorden pintujendela kebun raya. 
Dan sepasang rusa menanti buah pelita jatuh dari angkasa
 
Itulah latar cinta pertama kita. Dua remaja enam belas tahun yang lahir dari Sepasang Mata Bola di Rayuan Pulau Kelapa. Disusui Kolam Susu. Ditidurkan Nina Bobo.Diasuh Garuda Pancasila. Diayunambing Galang Rambu Anarki. Dimanjakan Hati yang Luka.  Dibesarkan Always Somewhere. Di penggalan remang kota yang tubuhnya basah
 
Pagar-pagar besi, jeruji, gerbang, tembok, trotoar, gapura, dan tugu yang menggigil dan suara malam tinggal krik cengkrik yang tercekik brangkal galian kabel listrik. Juga matatelinga para penjaga makin waspada mengintai kita. Curiga pada desah napas dan bisik-bisik kita


Namun dini hari masih aman kita lewatkan. Karena kencan kita berasas Pancasila dengan cinta yang tidak pernah subversif kepada negara
 
Di tenggara suhunan kota. Sayang kini, rembulan yang purnama entah kemana. Sejak bapak tiri kita, Presiden Indonesia itu, mengundang Paman Sam yang biaya keamanan dan jamuannya bisa untuk membeli kerupuk dan ikan asin tujuh belas turunan. Padahal si Mamang datang bukan mau memberi hati. Tetapi mau mencuri harga diri
 
Malam menjadi sedikit seram oleh sisa amukan hujanangin tadi siang dan cerita tukang cat yang tersambar petir ketika mengecat dinding istana negara. Juga oleh kedatangan tentara berseragam dan berpakaian preman yang membuat tukang becak dan tukang ojek di warteg tidak khusyuk menyimak siaran semalam suntuk wayang golek
 
Di tenggara suhunan kota. Rembulan yang purnama bertahta. Selangkang cahayanya mengangkangi tetaman istana negara. Selendang  bayangnya menggorden pintujendela kebun raya. Dan sepasang rusa menanti buah pelita jatuh dari angkasa. Itulah latar cinta pertama kita. Siapa saja tak boleh menghapusnya
 
sampai kehidupan kita karatan di pinggiran rel kereta.

Bogor, 2011
Syukur A. Mirhan. Lahir di Bogor, 8 Mei 1971. Alumnus FPBS UPI Bandung (1997). Melanjutkan studi S-2 di Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia IKIP PGRI Madiun. Pernah mengembara ke Singapura, Thailand, dan Malaysia. Bergiat di Masyarakat Litera Magetan (MSM), Majelis Sastra Madiun (MSM), dan Sanggar Lingua IKIP PGRI MADIUN. Puisi-puisinya pernah dimuat di media nasional dan daerah. Antologi puisi terbarunya Rembulan pun Melapuk di Reranting Perak telah diterbitkan Penerbit Leutika Jogya (2012). Sedang mempersiapkan antologi puisi Dua Penyair IKIP PGRI Madiun bersama penyair Panji Kuncoro Hadi.

0 komentar