Jumat, 18 Mei 2012

Antara Tanzih dan Tasybih

Oleh: Prof Dr Nasaruddin Umar

===========================
Antara Tanzih dan Tasybih (1)
----------------------------------------

Salah satu pengetahuan yang amat penting diketahui di dalam wacana ilmu tasawuf ialah al-tanzih wa al-tasybih.

Konsep ini sangat mendasar karena memengaruhi suasana batin dan etos kerja seorang Muslim. Konsep ini juga menjadi salah satu pangkal perbedaan mendasar antara para mutakalimin/teolog dan para sufi.

Secara kebahasaan, tanzih berarti jauh dan tasybih berarti menyerupai. Tanzih berasal dari kata nazzaha berarti menjauh, berjarak, dan membersihkan. Tanzih adalah istilah yang sering digunakan untuk menggambarkan bahwa Tuhan dan makhluk-Nya amat jauh dan tak terbandingkan (uncomparable).

Tuhan tak dapat digambarkan dan dibandingkan dengan makhluk-Nya. Ia berbeda secara mutlak dengan makhluk-Nya dan tidak ada kata sifat yang mampu melukiskan-Nya. Sedangkan tasybih berasal dari kata syabbaha yang berarti menyerupakan, yakni menyerupakan sesuatu dengan sesuatu yang lain.

Tasybih adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan bahwa Tuhan mempunyai kemiripan dengan alam sebagai makhluk-Nya karena alam adalah lokus penampakan (madzhar) diri-Nya. Dengan kata lain, alam (secara harfiah berarti tanda) adalah ayat untuk mengungkap identitas Tuhan.

Para teolog lebih sering menekankan aspek tanzih Tuhan. Bahkan, di antaranya mengatakan barangsiapa yang menyerupakan Tuhan dengan sesuatu maka ia musyrik. Bagi teolog, Tuhan harus berbeda dengan makhluk-Nya karena Ia adalah Tuhan. Makhluk tidak boleh dan memang tidak akan pernah mungkin menyerupai Tuhannya.

Mereka mendasarkan pandangannya pada ayat dan hadits di samping logika. Mereka sering mengutip, "Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia." (QS As-Syura: 11). "Tuhan menjadi tumpuan kosmos dan seluruh makhluk, Sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam." (QS Ali ‘Imran: 97).

Sejak semula juga tidak pernah dibayangkan teolog bahwa Tuhan serupa dengan makhluk-Nya. Bagimana Tuhan bisa disebut Tuhan kalau tidak lebih Maha Istimewa dibandingkan makhluk-Nya. Pokoknya, Tuhan harus berbeda dengan makhluk-Nya dan tidak mempunyai hubungan apa pun dengan sifat makhluk-Nya yang bersifat baru.

Seandainya semua manusia kufur atau semuanya berperilaku iblis, tidak akan menurunkan kewibawaan dan kemahasempurnaan Tuhan. Sebaliknya, seandainya manusia semuanya berperilaku ideal seperti malaikat, tidak juga akan menambah kewibawaan dan kesempurnaan Tuhan.

Tuhan adalah Maha Sempurna tanpa ketergantungan sedikit pun pada makhluk-Nya.
=========================
Antara Tanzih dan Tasybih (2)
--------------------------------------

Para teolog lebih menekankan aspek transendensi Tuhan. Ia seolah-olah jauh dari keterjangkauan manusia dan seluruh makhluk-Nya. Ia tak pernah terbayangkan zat dan substansi-Nya.

Pikiran dan memori manusia sama sekali tidak mampu manampung Tuhan dalam dirinya. Mungkin bukan Tuhan tidak mau memperkenalkan diri-Nya kepada manusia, tetapi seperti yang terungkap dalam syair Jalaluddin Rumi, "Apa arti sebuah piala untuk menampung air samudra."

Dalam menafsirkan Alquran, para teolog menyapu bersih adanya pemahaman keserupaan Allah dengan makhluk. "Kata tangan Tuhan" (QS. Al-Fath: 10) dipahami sebagai kekuasaan Tuhan, "mata Tuhan" (QS. At-Thur: 48) dipahami pengawasan Tuhan, dan "wajah Tuhan" (QS. Al-Baqarah: 272) dipahami sebagai ridha Allah.

Bahkan, hal-hal tertentu yang bisa menjurus kepada pemahaman tasybih diarahkan pengertiannya ke arah pengertian yang lebih aman. Meskipun kadang mengganggu kelurusan makna logika kalimat, misalnya Wa nafakhtu fihi min ruhi fa qa’u lahu sajidin dalam QS. Al-Hijr: 29).

Kalimat tersebut berarti "maka apabila Aku telah menyempurnakan kejadiannya, dan telah meniupkan ke dalamnya roh (ciptaan)-Ku, maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud." Kata min ruhi diselipkan penafsiran dalam kurung ciptaan. Ini dilakukan demi mencegah pemahaman bahwa Tuhan meniupkan roh-Nya ke dalam diri manusia.

Dari berbagai uraian di atas jelas sekali terlihat, teolog lebih menekankan aspek transendensi Tuhan dan ketakterbandingan (incomparability) antara Tuhan dan makhluk. Tuhan digambarkan seolah-olah lebih menonjol sebagai Tuhan maskulin, yang lebih menekankan aspek kebesaran, kekuasaan, dan keagungan-Nya.

Dalam lintasan sejarah pemikiran di dunia Islam, pandangan seperti ini sangat dominan, termasuk di Indonesia, yang dalam hal ini dapat diukur melalui terjemahan dan tafsir Alquran yang dikeluarkan Kementerian Agama, yang terlalu menekankan aspek eksoterisme Islam.
===========================
Antara Tanzih dan Tasybih (3)
----------------------------------------

Berbeda dengan para sufi yang lebih sering menekankan aspek tasybih Tuhan. Bagi sufi, alam khususnya manusia sebagai insan kamil, merupakan lokus pengejawentahan diri (majla) dan lokus penampakan (madzhar) asma dan sifatnya-Nya. Dengan demikian, Tuhan tidak bisa dipisahkan dengan makhluk-Nya.

Bahkan, Tuhan dianggap menjadi substansi (jauhar) pada setiap makhluk. Jika kita melihat alam, khususnya manusia sebagai makhluk mikrokosmos, niscaya kita membayangkan Tuhan di balik setiap sesuatu.

Bukankah Tuhan pada mulanya hanya sendiri lalu menciptakan kosmos, alam raya dari diri-Nya sendiri. Sehingga, antara Sang Khaliq dan makhluk merupakan dua hal yang tak terpisahkan.

Dimensi kualitas kosmos, semua berasal dari-Nya, pengetahuan mereka dari pengetahuan-Nya, kekuasaan mereka dari kekuasaan-Nya, cinta mereka dari cinta-Nya, energi mereka adalah energi-Nya.

Dengan demikian, antara Tuhan dan makhluk-Nya tak bisa dipisahkan. Para sufi mendasarkan pandangannya tentang konsep tasybih kepada Alquran dan hadits. Nama-nama dan sifat-sifat Tuhan sebagaimana tercantum di dalam Al-Asma Al-Husna menjadi entry point atau titik masuk untuk mengenal Tuhan.

Pada nama dan sifat Tuhan secara eksplisit disebutkan dalam Alquran, seperti "Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat" (QS. As-Syura: 11). Tuhan yang digambarkan Maha Mendengar (Al-Sami’) dan Maha Melihat (Al-Bashir) mempunyai keserupaan dengan makhluk-Nya.

Seperti manusia yang juga dapat mendengar dan melihat, walaupun sudah barang tentu berbeda dengan kapasitas dan cara Tuhan mendengar dan melihat.
==============================
Antara Tanzih dan Tasybih (4-habis)
---------------------------------------------

Ada sejumlah ayat yang sering dijadikan dalil oleh para sufi di dalam mendukung pandangan tasybihnya, antara lain:

"Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa. Kemudian Dia bersemayam di atas 'Arsy. Dia mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi dan apa yang keluar daripadanya dan apa yang turun dari langit dan apa yang naik kepadanya. Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan." (QS. Al-Hadid: 4).

Surah lainnya, "Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya dari pada urat lehernya." (QS. Qaf: 16).

Lalu, "Dan kepunyaan Allahlah timur dan barat, maka ke mana pun kamu menghadap di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmat-Nya) lagi Maha Mengetahui." (QS. Al-Baqarah: 115).

Dalam sebuah hadits disebutkan, Takhallaqu bi akhlaq Allah (berakhlaklah sebagaimana akhlak Allah SWT). Ini menunjukkan adanya keserupaan Allah dan makhluk dari segi sifat. Jika Allah Maha Kreatif (Al-Khaliq), Maha Pemaaf (Al-Afwu), dan Maha Sabar (As-Shabur), implementasinya manusia juga harus memaksimalkan diri meniru sifat Tuhan, yaitu menjadi makhluk yang kreatif, pemaaf, dan penyabar.

Ayat dan hadits di atas mengisyaratkan antara Tuhan dan hamba-Nya lebih tepat dikatakan memiliki hubungan immanen. Para sufi lebih tertarik mendekati Tuhan melalui jalur immanen ini. Sebab, mereka merasa didukung kenyataan ayat demi ayat Alquran lebih menonjolkan aspek immanen, feminitas, kelembutan, kasih-sayang, dan jamaliah-Nya.

Dengan lebih menekankan aspek tanzih Tuhan akan terbayang sebagai Tuhan maskulin, transenden, jauh, dan melahirkan suasana keagamaan formal dan cenderung kering. Sebaliknya, pada aspek tasybih Tuhan akan terbayang sebagai Tuhan feminin, immanen, dekat, dan melahirkan suasana keagamaan yang informal dan cenderung permisif.

Dari segi inilah Ibnu Arabi membuat analisis menarik. Memahami secara parsial dan terpisah kedua kualitas di atas tidak akan melahirkan kepribadian Muslim sejati. Tapi, yang justru diperlukan adalah memadukannya. Dia menggabungnya dalam konsep Huwa la Huwa (Dia yang Bukan Dia), yang akan diuraikan dalam artikel mendatang.

0 komentar