Jumat, 21 September 2012

Denyut Hidup Museum Wayang di Pondok Tingal



Dalang bocah Muchammad Nur Dwi Prasetyo asal Mojokerto tampil membawakan wayang kulit gaya Jawa Timur dengan lakon "Gaotkaca Winisuda" pada Festival Dalang Bocah 2012 di Museum Bank Indonesia di Jakarta, diikuti 21 dalang bocah dari berbagai provinsi.

"Saya dapat jatahnya masih besok, Tahun 2013. Tanggal dan bulannya akan dikabari lagi, tapi sudah dijatah," kata seorang dalang muda wayang kulit di Magelang, Jawa Tengah, Sih Agung Prasetyo (26).

Sih Agung yang setiap hari mengajar Bahasa Jawa di SMA Kristen 1 Kota Magelang itu mendapat kabar dari Sekretaris Persatuan Pedalangan Indonesia (Pepadi) Kota Magelang Susilo Anggoro tentang jatah memainkan wayang kulit di kompleks Pondok Tingal.

Namun, sejak saat ini ia telah menyiapkan kerangka naskah lakon "Karno Tanding" untuk pementasan di tempat itu, sedangkan naskah lengkapnya bakal menambah khasanah koleksi Museum Wayang "Sasana Guna Rasa" di kompleks Pondok Tingal, sekitar 500 meter timur Candi Borobudur, Kabupaten Magelang.

Museum wayang yang menjadi bagian dari Pondok Tingal itu dirintis oleh R. Boediardjo (almarhum). Pondok Tingal selain berupa hotel dan restoran bernuansa kental desa Jawa, juga ruang pertemuan, bangunan pendopo, dan museum wayang.

Boediardjo, pernah menjabat sebagai Menteri Penerangan (1968-1973), Duta Besar RI untuk Kamboja (1965-1968) dan Spanyol (1976-1979), serta Direktur PT Taman Wisata Borobudur-Prambanan (1979-1985).

Boediarjo juga pernah menjabat sebagai Atase Udara RI di Kairo, Mesir. Jabatan terakhir dalam dinas militer sebagai Komandan Jenderal Komando Logistik TNI Angkatan Udara, sedangkan pangkat tertinggi kemiliteran yang diraihnya marsekal madya.

Semasa hidupnya, Boediardjo juga salah satu pelaku penting perjuangan kemerdekaan melalui tugas kemiliteran di Angkatan Udara. Ia yang lahir di Magelang pada 16 November 1921 dan meninggal di Jakarta pada 15 Maret 1997, serta selanjutnya dimakamkan di pemakaman umum Desa Wanurejo, Kecamatan Borobudur itu juga penggemar fotografi dan wayang.

Boediarjo belajar tentang dunia wayang dari pamannya yang juga dalang kondang pada zamannya, bernama Tjokrowihardjo, di Walitelon, Kecamatan Temanggung, Kabupaten Temanggung.

Sejak 1991, koleksi wayang Boedihardjo dipindah dari rumah tinggalnya di Dusun Tingal, Desa Wanurejo, ke kompleks Pondok Tingal yang dibangunnya di tepi Jalan Balaputera Dewa, Kecamatan Borobudur, sekitar 500 meter dari rumah tinggal tersebut.

"Memang museum peninggalan Bapak ini, tidak sekadar memajang koleksi wayang, tetapi juga dihidupi dengan pergelaran wayang setiap Sabtu minggu keempat. Sampai sekarang catatan kami sudah pergelaran yang ke-191," kata seorang pengelola kompleks Pondok Tingal Ninik didampingi seorang lainnya Faisal. Keduanya adalah menantu Boediardjo.

Bangunan museum seluas sekitar 1.500 meter persegi di barat Pendopo "Saraswati", kompleks Pondok Tingal itu menyimpan beraneka wayang baik terbuat dari kulit, kayu, bambu, batu, maupun lukisan kaca tentang para tokoh wayang, topeng kayu, dan seperangkat gamelan slendro dan pelog.

Selain itu, sedikitnya 694 judul buku tentang wayang dalam berbagai bahasa, 83 kaset rekaman wayang sejak 1971 hingga 1994 dan 59 kaset video rekaman pergelaran wayang sejak 1980 hingga 1990.

"Kami sedang merencanakan menyimpan rekaman-rekaman itu ke dalam ’compact disk’. Sejak beberapa waktu terakhir ini kami juga mengumpulkan naskah pergelaran wayang kulit di Pondok Tingal ini yang dimainkan para dalang," katanya.

Koleksi Berbagai Daerah

Koleksi wayang di museum itu berasal dari beberapa daerah di Indonesia seperti Jawa, Cirebon, Bali, dan Lombok dan luar negeri seperti China, Kamboja, dan Turki. Bahkan, museum itu juga mengoleksi wayang Kedu buatan 1880.

"Awal Tahun 2000, sewaktu kunjungan kedua ke Turki, saya membawa beberapa wayang Turki untuk memperkaya koleksi museum ini," kata Faisal.

Berbagai wayang yang tersimpan secara baik dan terawat itu antara lain jenis wayang kulit : Wayang Sahadat, Wayang Wali Songo, Wayang Pancasila, Wayang Buddha, Wayang Cirebon, Wayang Bali, Wayang Lombok, dan Wayang Kidang Kencono.

Ninik menyebut 12 kotak kayu masing-masing berukuran cukup besar berisi seperangkat wayang menjadi koleksi museum tersebut.

Beberapa petugas museum yang sekaligus pekerja di kompleks Pondok Tingal itu secara berkala mengganti pajangan wayang-wayang di museum tersebut.

"Sampai sekarang kami terus melengkapi, kalau ada yang kurang, kami juga pesan di Wonogiri (Jateng) atau Bantul (Yogyakarta)," katanya.

Beberapa koleksi tokoh wayang di museum itu seringkali digunakan para dalang untuk menggelar pementasan, jika koleksi satu kotak utama wayang kulit untuk pementasan rutin yang disimpan di Pendopo Sawitri (depan Museum Wayang Sasana Guna Rasa) ternyata masih kurang.

Pada masa lalu, beberapa dalang kondang seperti Anom Suroto, Mantep Sudarsono, Timbul Hadi Prayitno, dan Warseno Sleng pernah memainkan lakon-lakon wayang kulit di kompleks tersebut, sedangkan saat ini pengelola museum tersebut memprioritaskan para dalang muda untuk mengeksplorasi khasanah dunia wayang melalui pergelaran mereka secara berkala di tempat itu.

"Malah sekarang cukup banyak dalang dari daerah lainnya di luar Magelang yang meminta kesempatan untuk bisa main wayang di sini seperti dari Banjarnegara, Cilacap, Kebumen, Banyumas. Kalau dulu-dulu, kami mencari siapa para dalang yang mau main, sekarang banyak yang antre untuk bisa main di sini," katanya.

Pendekatan kepada para dalang muda di Magelang juga terus di lakukan supaya mereka berkesempatan memainkan lakon wayang di sini, katanya.

Pergelaran

Pergelaran wayang setiap Sabtu minggu keempat itu berdurasi sekitar tiga jam, sejak pukul 21.000-24.00 WIB. Setiap pergelaran bukan semata-mata mengajak masyarakat untuk menyaksikan sajian pementasan suatu lakon wayang, akan tetapi juga ajang silaturahim kalangan pegiat dunia pewayangan terutama di Magelang dan sekitarnya.

"Kami juga memiliki tradisi mementaskan wayang dengan lakon karya bapak seperti ’Salya Begal’ dan ’Durgandini’," katanya.

Sesekali rombongan anak sekolah dasar dan sekolah menengah pertama baik di Magelang maupun luar daerah setempat berkesempatan mengunjungi Museum Wayang "Sasana Guna Rasa". Pengelola tidak memungut biaya kepada siapa saja yang berkunjung ke museum itu.

Mereka yang berkunjung ke tempat itu bahkan boleh mencoba memainkan wayang koleksi museum tersebut, atau menyimak pementasan wayang kulit dengan durasi pendek atau biasa dikenal dengan pakeliran padat.

Beberapa kali selama ini, seorang lainnya yang turut mengelola museum yang juga dalang muda Magelang, Eko Sunyoto, memainkan lakon wayang kulit di museum tersebut sebagai suguhan kepada rombongan anak sekolah.

Kalangan mahasiswa Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta juga sering bertandang ke museum itu, sedangkan seorang pengajar ISI Surakarta pernah melakukan penelitian di kompleks itu terkait program doktor yang sedang ditempuhnya. Selain itu, pernah grup wayang orang dari Semarang studi banding ke Museum Wayang "Sasana Guna Rasa".

Ia mengatakan, penerapan pelajaran di sekolah tentang muatan lokal yang berupa wayang juga bisa menjadikan museum wayang setempat sebagai salah satu sarana pendidikan baik untuk para siswa maupun peningkatan kompetensi para pengajarnya.

Berbagai pelajaran yang bisa direguk dari museum itu antara lain menyangkut dunia wayang, karawitan, Bahasa Jawa, atau hal ikhwal lainnya tentang nilai-nilai karakter budaya bangsa.

Pihaknya menyadari bahwa pengelolaan museum wayang sebagai hal yang tidak mudah, cukup menarik, unik, mengemban tanggung jawab luhur berupa pewarisan dan pengembangan nilai budaya bangsa sehingga perlu melibatkan berbagai pihak khususnya kalangan pegiat dunia pewayangan. "Untuk sarana pendidikan, itu sudah pasti bisa dengan memanfaatkan museum wayang ini," katanya.

Oleh karenanya, pengelola Museum Wayang "Sasana Guna Rasa" tak sekadar menjadikan tempat itu sebagai bangunan dengan pajangan statis beragam koleksi wayangnya, melainkan terus menerus dan secara dinamis mereka hidupi.


source

0 komentar