Kamis, 01 Desember 2011

Garam: Kisah tentang Keserakahan dan Harga Diri

13226795271493172874Dalam tulisan tentang Shawnee Cakes, saya mencatat pertanyaan tentang sudah tidaknya garam digunakan oleh suku Shawnee semasa Tecumseh hidup. Pertanyaan itu bukan tanpa alasan. Pertama, karena saya pernah membaca di sebuah sumber bahwa ada suku-suku yang tidak menggunakan garam dalam keseharian mereka. Kedua, karena garam yang sederhana itu punya rentang catatan tersendiri dalam sejarah suku asli Amerika, jauh melebihi fungsinya sebagai perasa atau pengawet makanan.
Dalam beberapa sumber di internet disebutkan, suku asli benua Amerika sudah membuat dan menggunakan garam ratusan tahun lamanya sebelum pendatang dari Eropa mendarat di benua tersebut. Mereka mendapatkan garam dari sumber-sumber air asin atau kolam sungai yang mengering, mengkristalkannya dengan cara merebus atau menguapkan airnya dengan bantuan sinar matahari, dan menggunakannya sebagai bumbu penyedap atau pengawet daging hasil buruan. Mereka juga mengikuti jejak binatang untuk menemukan sumber-sumber garam, karena hewan liar memiliki kebiasaan menjilat bebatuan asin untuk memenuhi kebutuhan tubuh mereka terhadap sodium klorida.
Dalam perkembangan selanjutnya, garam dijadikan alat pertukaran dan untuk menaklukkan suku-suku asli tersebut. James Alexander Thom, dalam novelnya tentang Tecumseh, memberi gambaran khusus bagaimana peran garam dalam kehidupan suku Shawnee. Di bab 29 (hal. 466-468) dikisahkan, Star Watcher (kakak perempuan Tecumseh) risau karena persediaan garam sudah menipis. Tidak saja karena semakin banyaknya orang yang harus diberi makan, tetapi garam semakin langka sejak kedatangan orang-orang kulit putih ke Kentucky dan Ohio. Para pendatang itu tidak saja merampas areal milik suku-suku asli di sana, tetapi mereka juga menguasai sumber-sumber air asin dan menggunakannya sebagai alat tawar agar para suku asli tersebut bersedia tunduk dengan aturan yang mereka buat. Suku-suku yang bersedia menandatangani perjanjian dengan pendatang tersebut akan mendapatkan garam lebih mudah. Sebaliknya, bagi suku yang tidak mau tunduk seperti halnya suku Shawnee, maka garam menjadi barang langka buat mereka.
Ketika Tecumseh sedang berada di wilayah Ohio, datanglah beberapa orang kulit putih yang membawa garam untuk suku Kickapoos yang menandatangani perjanjian. Namun suku Kickapoos memilih menolak garam tersebut. Mereka menawarkan pada suku Shawnee, dan suku Shawnee menyuruh mereka meninggalkan garam tersebut di tepian sungai dan menunggu Tecumseh memutuskan apa yang harus dilakukan dengan garam-garam itu. Mereka tidak menyentuh sedikitpun, sekalipun saat itu mereka benar-benar membutuhkannya.
Tecumseh, yang mengetahui bahwa pendatang kulit putih kerap melanggar perjanjian yang mereka buat sendiri, memilih tetap menolak garam tersebut dan menyebutnya sebagai pelecehan pemerintah Amerika terhadap suku asli. Dia menyuruh para pendatang itu untuk membawa kembali garam itu, dan mengatakan kepada Star Watcher, “Tidak ada seorangpun yang berhak menghalangi kaum kita untuk membuat garam dari mata air asin di tanah-tanah itu. Karena perjanjian tersebut tidak ada artinya bagiku, ataupun bagi kaum kita.”
Star Watcher, yang memahami makna menjaga harga diri di balik keputusan Tecumseh, akhirnya berkata, “Kalau begitu aku akan pergi ke mata air tersebut untuk membuat garam bersama dengan beberapa perempuan dari kaum kita. Kau sediakan beberapa prajurit untuk menjaga mereka.”
Demikianlah sekilas tentang peran garam dalam interaksi antara pendatang dan suku asli Amerika di masa lampau. Garam, telah menjadi alat penaklukan, simbol keserakahan, dan simbol kelicikan. Tidak banyak berbeda makna penggunaannya sebagai alat dalam dunia politik; sebagaimana halnya beras di negara kita.
*****
picture source: http://www.propertiesofmatter.si.edu/saltysea.html
posting by : http://www.kompasiana.com/yulinava

0 komentar